Penahanan Tongkang UBP di Luar Kewenangan KUPP Molawe

Advertisements

KONUT, rubriksatu.com – Penahanan kapal bermuatan ore nikel milik CV Unaaha Bakti Persada (UBP) oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI menuai polemik. Penahanan dua kapal, yakni TB. ASL Delta/BG. Limin 3301 dengan muatan 9.801,51 ton bijih nikel dan TB. Putra Andalas 8/BG. Andalas Express 8, diduga tidak melalui prosedur yang semestinya, lantaran tidak disertai surat pemberitahuan resmi kepada pihak terkait.

Atas tindakan tersebut, kuasa hukum CV UBP melayangkan somasi. Mereka menolak tuduhan yang dilayangkan Bakamla, dengan alasan lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan dalam hal ini.
“Sampai saat ini belum pernah ada proses hukum atau putusan pengadilan yang menyatakan terdapat pelanggaran dalam kegiatan usaha pertambangan CV Unaaha Bakti Persada,” ujar kuasa hukum UBP.

Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Molawe, Marsri, menanggapi polemik tersebut dengan mengingatkan pentingnya koordinasi antar lembaga. Ia menegaskan bahwa setiap tindakan penahanan seharusnya dilakukan dengan prosedur yang jelas dan disertai pemberitahuan resmi kepada pihak terkait.

“Kita harus berpikir ke depan. Jika ada kesalahan, sebaiknya dikoordinasikan agar bisa diperbaiki. Dengan begitu, kapal-kapal bisa beroperasi kembali, dan roda ekonomi tetap berjalan,” kata Marsri.

Ia juga menyebut bahwa penahanan kapal bermuatan ore milik CV UBP yang dilakukan Bakamla RI berada di luar kewenangan KUPP Molawe. Namun, Marsri berharap semua pihak, termasuk Bakamla, dapat memastikan adanya komunikasi yang baik untuk menghindari kerugian bagi pihak lain.

“Tugas kami adalah menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Jika ada kesalahan dalam penerbitan SPB, tentu kami juga perlu koreksi. Namun, tindakan penahanan tanpa pemberitahuan jelas bukan bagian dari tugas kami,” ungkapnya.

Marsri berharap, ke depannya, setiap pihak yang berkepentingan di wilayah perairan Sulawesi Tenggara dapat saling berkolaborasi dan berkoordinasi, sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Semua ini demi kelancaran perekonomian di Indonesia. Jika memang ada kesalahan, itu harus dijelaskan secara terbuka agar dapat ditindak sesuai hukum yang berlaku,” tutup Marsri.

Polemik ini mencerminkan pentingnya transparansi dan koordinasi antar institusi dalam mengelola aktivitas di sektor pelayaran dan pertambangan, demi menjaga stabilitas ekonomi dan kelancaran operasional di wilayah perairan Sulawesi Tenggara.

Laporan Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *