KONAWE, rubriksatu.com – Rapat Paripurna DPRD Konawe yang sedianya berlangsung serius, tiba-tiba berubah menjadi ajang tawa dan keheranan. Adalah Wakil Bupati Konawe, Syamsul Ibrahim, yang menjadi pemicu suasana cair tersebut lewat pantun satir yang ia sematkan dalam pidatonya pada Selasa, (27/5/2025).
Saat memberikan tanggapan pemerintah terhadap pandangan fraksi atas RPJMD Konawe 2025–2029, Syamsul yang dikenal lugas dan penuh improvisasi, menyelipkan bait yang menggelitik dan mengundang interpretasi liar.
“Utang ngopi bukan janji,
Karena manisnya kopi masih bisa kita nikmati, Sementara manisnya janji bisa membuat kita sakit hati.”
Pantun itu sontak mengundang tepuk tangan dan tawa dari seluruh peserta sidang. Bahkan Ketua DPRD, I Made Asmaya, sempat berseloroh, “Bapak memang siapkan pantun, ya?”
Namun, yang paling menyentak adalah penutup pidato Syamsul yang tak kalah kontroversial:
“Terakhir, mari kita berbuat yang terbaik,
Meskipun muka kita kadang mencurigakan.”
Bait tersebut menyisakan lebih dari sekadar tawa. Tak sedikit hadirin yang keluar dari ruang sidang sambil mengulang-ulang pantun itu, seolah menyimpan tanya di balik gelak: siapa yang dimaksud? Apa pesan sebenarnya?
Bagi sebagian orang, pantun itu hanya sekadar selingan untuk mencairkan suasana. Namun, bagi yang peka membaca dinamika politik lokal, baris-baris tersebut terasa seperti satire yang dibungkus rapi.
Apalagi, Syamsul Ibrahim dikenal tidak asal bicara. Setiap kalimatnya kerap mengandung makna ganda, antara nasihat, kritik, dan ejekan politik.
Di tengah pembahasan dokumen strategis seperti RPJMD, ucapan yang dibalut humor seringkali menjadi pintu masuk bagi kritik yang sulit diucapkan secara langsung.
Tak ayal, ucapan Syamsul memicu spekulasi: apakah pantun itu ditujukan kepada pihak-pihak tertentu di parlemen? Atau justru bentuk refleksi atas dinamika pemerintahan yang ia rasakan?
Apa pun maknanya, pantun Wakil Bupati telah menjadi bagian dari wacana politik Konawe hari ini. Lucu, menggelitik, tapi juga menggigit. Dan dalam dunia politik, lelucon pun bisa menjadi senjata.
Laporan Redaksi