KONKEP, rubriksatu.com – Polemik tambang PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara, terus bergulir. Perusahaan yang merupakan bagian dari konglomerasi Harita Group ini tak henti-hentinya menuai penolakan dari masyarakat dan berbagai pihak.
Sejumlah putusan hukum telah menyatakan bahwa aktivitas pertambangan di pulau kecil seperti Wawonii melanggar aturan. Namun, PT GKP tetap bertahan dengan dalih masih memiliki dasar hukum untuk beroperasi.
Harita Group, yang dikendalikan oleh keluarga Lim, merupakan salah satu raksasa bisnis sumber daya alam di Indonesia. Perusahaan ini memiliki berbagai anak usaha, termasuk PT Trimegah Bangun Persada (TBP) di Halmahera Selatan, yang juga bergerak di sektor nikel.
Selain nikel, Harita Group menguasai sektor bauksit melalui Citra Mineral Investindo, perkebunan kelapa sawit lewat Bumitama Agri, perkapalan melalui Lima Srikandi Jaya, hingga properti dengan Cipta Harmoni Lestari.
Di Konawe Kepulauan, Harita Group mengembangkan sayapnya melalui PT GKP, yang kini menjadi pusat konflik dengan masyarakat setempat.
Penolakan terhadap aktivitas PT GKP bukan tanpa alasan. Mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 57 dan 14, serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35, pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil tidak diperbolehkan.
Selain itu, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dimiliki PT GKP juga sudah kedaluwarsa. Izin yang diterbitkan pada 2014 itu seharusnya batal jika dalam dua tahun pertama tidak ada aktivitas pertambangan. Faktanya, PT GKP baru mulai beroperasi akhir 2019, yang berarti izin tersebut sudah gugur secara hukum sejak 2016.
Tak hanya itu, Mahkamah Agung juga telah membatalkan pasal-pasal dalam Perda RTRW Konkep 2021, yang sebelumnya memberikan ruang bagi tambang di Pulau Wawonii. Dengan demikian, secara hukum PT GKP tidak memiliki legitimasi untuk menambang di wilayah tersebut.
Wakil Ketua DPRD Konkep, Sahidin, menegaskan bahwa PT GKP telah menabrak aturan. Ia menyoroti bahwa Perda RTRW yang mengatur pertambangan di Wawonii telah dihapus lewat dua putusan MA, sehingga PT GKP tidak memiliki dasar hukum untuk beroperasi.
“Secara otomatis, perusahaan ini tidak bisa melakukan aktivitasnya di kawasan hutan tanpa mengantongi IPPKH yang sah,” tegasnya.
Pihak PT GKP bersikeras bahwa mereka tidak melanggar aturan hukum. Manager Strategic Communication PT GKP, Hendry Drajat Muslim, menyatakan bahwa pihaknya telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung terkait putusan kasasi sebelumnya.
“Hingga saat ini belum ada pencabutan IPPKH PT GKP. Kami tengah dalam proses hukum lanjutan melalui langkah PK ke MA,” ungkap Hendry, dikutip dari Inilah.com.
Hendry juga menegaskan bahwa pencabutan IPPKH tidak serta-merta membuat Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT GKP tidak berlaku. Menurutnya, putusan MA telah memenangkan status legalitas IUP perusahaan tersebut.
Selain itu, Hendry menambahkan bahwa putusan MK tidak secara mutlak melarang pertambangan di pulau kecil, asalkan memenuhi seluruh persyaratan sesuai perundang-undangan dan mendapatkan persetujuan dari kementerian/lembaga terkait.
Pernyataan PT GKP dibantah oleh Harimuddin, kuasa hukum masyarakat Wawonii dari Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm.
Harimuddin menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung Nomor 403 K/TUN/TF/2024 telah berkekuatan hukum tetap, yang artinya IPPKH PT GKP sudah batal secara hukum.
“Meskipun ada upaya Peninjauan Kembali, Pemprov Sultra harus menghormati putusan ini dan melarang PT GKP melanjutkan kegiatan pertambangan,” ujarnya dalam rilis yang diterima AmanahSultra.id.
Ia juga menegaskan bahwa berdasarkan aturan, IPPKH PT GKP sudah batal sejak 2016, karena perusahaan baru mulai beroperasi pada 2019.
Selain itu, Mahkamah Agung telah membatalkan pasal dalam Perda RTRW Konkep, yang memberikan ruang bagi pertambangan di Pulau Wawonii.
“Pemprov Sultra harus mengingat dua putusan Mahkamah Agung yang jelas-jelas menghapus ketentuan ruang tambang di Pulau Wawonii. Aktivitas pertambangan di pulau kecil ini bertentangan dengan hukum,” kata Harimuddin.
Saat ini, PT GKP masih tetap beroperasi dengan dalih menunggu hasil PK di Mahkamah Agung. Di sisi lain, masyarakat dan DPRD Konkep terus mendesak pemerintah serta aparat penegak hukum untuk menghentikan aktivitas tambang di Pulau Wawonii.
Tim redaksi