KONKEP, rubriksatu.com – Polemik pertambangan di Pulau Kecil Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), kembali memanas. Pernyataan Kepala Dinas ESDM Pemprov Sultra, Andi Azis, dalam siaran pers PPID Utama Provinsi Sultra pada 22 Januari 2025, yang menyebutkan bahwa PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP) masih memiliki hak untuk menambang, menjual hasil tambang, serta membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), menuai kritik keras.
Sejumlah pihak menilai bahwa Pemprov Sultra keliru memahami regulasi terkait larangan aktivitas pertambangan di pulau kecil. Pernyataan Sekretaris Daerah Pemprov Sultra, Asrun Lio, yang turut mendukung pernyataan Andi Azis dalam wawancara 24 Januari 2025, semakin memperkuat dugaan bahwa pemerintah daerah kurang memahami implikasi hukum dari kasus ini.
Menanggapi hal ini, Harimuddin, kuasa hukum masyarakat Wawonii dari Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 403 K/TUN/TF/2024 telah berkekuatan hukum tetap dan membatalkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT GKP.
“Pemprov Sultra seharusnya menghormati putusan ini dan melarang PT GKP melanjutkan aktivitas pertambangan. Apalagi, permohonan penundaan keberlakuan IPPKH juga telah dikabulkan dalam gugatan ini,” ujar Harimuddin dalam keterangan tertulisnya, Jumat 30 Januari 2025.
Ia menambahkan bahwa IPPKH PT GKP telah batal sejak lama, sesuai dengan Diktum Ketigabelas dalam surat keputusan IPPKH yang diterbitkan pada 18 Juni 2014. Aturan tersebut menyebutkan bahwa jika dalam jangka waktu tertentu tidak ada aktivitas pertambangan di lapangan, izin otomatis batal.
“PT GKP baru memulai aktivitasnya pada akhir 2019, sementara batas waktu izin sudah habis sejak 18 Juni 2016. Artinya, izin tersebut tidak lagi berlaku,” tegasnya.
Tak hanya itu, MA juga telah membatalkan pasal-pasal dalam Peraturan Daerah (Perda) Konawe Kepulauan yang mengatur ruang bagi pertambangan di Wawonii. Pasal-pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), yang secara tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau kecil.
Senada dengan Harimuddin, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Konawe Kepulauan, Sahidin, menegaskan bahwa dua putusan MA bersifat final dan tidak dapat digugat lagi.
“Pemprov Sultra seharusnya tidak membiarkan PT GKP terus beroperasi. Jika izin IPPKH sudah batal, maka aktivitas pertambangan yang mereka lakukan saat ini berpotensi melanggar hukum,” katanya.
Menurut Sahidin, aktivitas tambang PT GKP tanpa IPPKH yang sah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini merujuk pada Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan, yang menyatakan bahwa eksploitasi sumber daya hutan tanpa izin yang sah dapat dikenakan pidana penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp5 miliar.
“Kekeliruan Pemprov Sultra dalam memahami putusan hukum tidak hanya merugikan masyarakat Wawonii, tetapi juga menunjukkan ketidakpedulian terhadap aturan yang sudah jelas melarang pertambangan di pulau kecil,” tambahnya.
Selain MA, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memperkuat posisi masyarakat Wawonii melalui Putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023, yang menegaskan larangan eksploitasi tambang di pulau kecil.
“Tidak ada lagi ruang bagi kegiatan pertambangan di Wawonii. Pemprov Sultra harus segera mencabut pernyataan yang keliru agar tidak semakin memperburuk keadaan,” tegas Sahidin.
Di sisi lain, pihak PT GKP menegaskan bahwa mereka masih memiliki dasar hukum untuk melanjutkan aktivitas pertambangan. Manager Strategic Communication PT GKP, Hendry Drajat Muslim, menyatakan bahwa mereka telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
“Putusan kasasi MA hanya memerintahkan pencabutan IPPKH, tetapi sampai sekarang izin itu belum dicabut oleh kementerian terkait. Selain itu, pencabutan IPPKH tidak otomatis membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kami,” kata Hendry, dikutip dari inilah.com, Jumat 31 Januari 2025.
Menurut Hendry, putusan MK juga tidak melarang pertambangan di pulau kecil secara mutlak. Ia berpendapat bahwa selama memenuhi seluruh persyaratan hukum dan mendapat evaluasi dari kementerian terkait, maka aktivitas pertambangan masih bisa dilakukan.
“Saat ini kami masih dalam proses hukum lanjutan, dan PK adalah langkah konstitusional yang sah untuk mempertahankan legalitas operasional kami,” tambahnya.
Kasus pertambangan di Pulau Wawonii kini menjadi ujian bagi pemerintah daerah dalam menegakkan supremasi hukum dan menjaga keberlanjutan lingkungan.
Di satu sisi, putusan MA telah secara tegas membatalkan IPPKH PT GKP, tetapi di sisi lain, perusahaan tetap beroperasi dengan dalih bahwa mereka masih memiliki IUP yang sah.
Pemprov Sultra kini berada dalam posisi yang dilematis: apakah akan tunduk pada putusan hukum tertinggi di Indonesia, atau tetap memberikan ruang bagi industri pertambangan yang bertentangan dengan regulasi pulau kecil?
Sementara itu, masyarakat Wawonii terus menanti kepastian hukum dan kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan mereka.
Laporan Redaksi