KONSEL, rubriksatu.com – Hiruk-pikuk alat berat PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara, kian mengusik ketenangan warga.
Aktivitas pertambangan yang berdekatan dengan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 12 Laeya menimbulkan dampak serius, mulai dari gangguan proses belajar mengajar hingga ancaman longsor yang bisa mengancam nyawa guru dan murid.
Namun, di tengah kecemasan warga, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PT WIN masih menjadi tanda tanya besar.
Setiap hari, suara bising alat berat menjadi latar belakang aktivitas belajar di SDN 12 Laeya. Tak hanya itu, aktivitas penambangan yang dilakukan persis di samping sekolah meningkatkan risiko longsor yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
Kondisi ini memicu kemarahan warga. Puluhan orang yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Lingkungan dan Hak Asasi Manusia (APEL HAM) Torobulu menggelar demonstrasi di kantor PT WIN, Kamis (30 Januari 2025) lalu. Mereka menuntut perusahaan untuk menunjukkan dokumen Amdal, yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan sebelum tambang beroperasi.
Namun, aksi damai ini berubah tegang. Sikap arogan dan tindakan premanisme dari pihak perusahaan memicu adu mulut dan aksi dorong dengan warga. Bahkan, seorang perwakilan perusahaan sempat menantang warga untuk membakar ban, memperkeruh suasana.
Dalam aksi tersebut, warga membentangkan berbagai spanduk protes, seperti “Ciptakan Ruang Pendidikan Aman, Bebas dari Aktivitas Pertambangan #SaveTorobulu”. Para orang tua murid juga turun ke jalan, membawa spanduk bertuliskan “Perempuan Tidak Butuh Tambang, Butuh Air Bersih, Udara Bersih, dan Lingkungan Sehat”.
Seorang warga, Ayunia Muis, menegaskan bahwa masalah ini bukan yang pertama kali terjadi. Pada tahun 2019, aktivitas pertambangan PT WIN juga pernah menyebabkan tanah di belakang sekolah turun drastis, memperbesar risiko bencana.
“Sejak 2019, tanah di belakang sekolah semakin menurun akibat aktivitas tambang yang ugal-ugalan. Ditambah lagi, ada aliran sungai di dekatnya yang bisa memperparah situasi,” ungkap Ayu.
Dampak negatif lainnya adalah air laut yang semakin keruh, yang langsung mengancam mata pencarian para nelayan setempat. Nurhidayah, salah satu demonstran sekaligus orang tua murid, juga mengungkapkan kekhawatirannya.
“Kami takut anak-anak bermain di samping galian tambang, karena bisa saja tiba-tiba longsor. Udara segar pun sudah sulit kami hirup,” keluhnya.
Kecemasan warga akhirnya bermuara pada satu tuntutan utama: PT WIN harus transparan soal dokumen Amdal.
Menurut Hermina, salah satu warga yang lantang bersuara, kajian dampak lingkungan tidak hanya harus mencakup Torobulu, tetapi juga desa-desa lain yang terkena dampaknya.
“Sepengetahuan saya, masyarakat harus dilibatkan dalam proses ini. Karena yang merasakan dampaknya adalah kami, bukan pihak perusahaan,” tegasnya.
Tuntutan warga sejalan dengan penjelasan kuasa hukum mereka, Muhammad Ansar. Ia menegaskan bahwa berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat.

“Dokumen Amdal terdiri dari berbagai bagian, seperti Kerangka Acuan Andal, Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKLH), dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPLH). Semua ini harus menjadi dasar dalam penerbitan izin tambang,” jelas Ansar.
Ia juga menekankan bahwa ada dua aspek utama dalam perizinan lingkungan: aspek formil dan aspek materiil.
Aspek formil menyangkut proses penerbitan izin, di mana partisipasi warga menjadi syarat utama.
Aspek materiil berkaitan dengan dampak langsung terhadap lingkungan dan kesehatan warga.
“Jika PT WIN melibatkan warga sejak awal, mengapa sekarang warga mempertanyakan dokumen tersebut?” sindirnya.
Selain itu, menurut Pasal 67 UU PPLH, warga berhak mendapatkan akses informasi lingkungan, pendidikan lingkungan hidup, serta partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Desakan Warga: Hentikan Tambang di Dekat Sekolah!
Aksi protes ini mengarah pada tiga tuntutan utama warga Torobulu:
PT WIN harus menghentikan aktivitas penambangan di sekitar SDN 12 Laeya dan pemukiman warga.
Perusahaan wajib menunjukkan dan mensosialisasikan dokumen Amdal kepada masyarakat.
Hentikan segala bentuk intimidasi terhadap warga yang memperjuangkan lingkungan hidup.
“Kami tidak akan diam. Lingkungan ini adalah milik kami, bukan hanya perusahaan tambang. Kami akan terus menuntut keadilan,” tegas Muhammad Ansar menutup pernyataannya.
Dengan semakin besarnya tekanan dari warga, bola panas kini ada di tangan pemerintah dan pihak berwenang. Apakah mereka akan berpihak pada kepentingan lingkungan dan keselamatan warga, atau tetap membiarkan tambang beroperasi tanpa kejelasan?
Laporan Redaksi