Debu, Bising, dan Janji Bohong: Nasib Buruk Anak-anak SDN 3 Lasolo di Tengah IUP PT Daka

KONUT, rubriksatu.com – Ketika perusahaan tambang terus mengeruk keuntungan dari bumi Konawe Utara, anak-anak di SDN 3 Lasolo Kepulauan justru harus menanggung risiko kesehatan dan terganggunya proses belajar akibat aktivitas tambang.

Sorotan tajam dilontarkan Ketua Umum Lembaga Persatuan Pemuda Pemerhati Daerah (P3D) Konut, Jefri, terhadap PT Daka Group, perusahaan tambang yang dinilai abai terhadap dunia pendidikan.

Sejak 2019, PT Daka telah menjanjikan relokasi SDN 3 Lasolo ke lokasi yang lebih aman dan layak, namun hingga Juli 2025, janji itu tak kunjung ditepati. Padahal, sekolah ini kini terhimpit tepat di samping jetty dan aktivitas bongkar muat ore nikel milik perusahaan tersebut.

“Debu tambang dan polusi suara sangat mengganggu. Anak-anak terpaksa lebih banyak membersihkan ruangan ketimbang belajar. Ini jelas merusak kualitas pendidikan mereka,” tegas Jefri kepada media ini, Sabtu (12/7/2025).

Ironisnya, PT Daka hanya menyebut sudah siapkan material seperti pasir, tanpa ada pembangunan nyata. Wacana relokasi seolah hanya pemanis janji yang diulang-ulang saban tahun.

Sekolah Dasar yang dibangun sejak 2010 itu bahkan berdiri lebih dulu dibanding aktivitas pertambangan. Hal ini ditegaskan Haris Lakansae, kepala sekolah pertama SDN 3 Lasolo.

“Kami bangun sekolah ini dari nol. Tambang datang belakangan. Tapi selama ini, PT Daka tidak pernah membantu, bahkan seolah tak peduli,” ujar Haris saat diwawancarai media ini pada 2019 lalu.

Situasi semakin memprihatinkan karena hingga kini belum ada tindakan nyata dari pihak Dinas Pendidikan maupun Pemkab Konawe Utara. P3D pun mendesak seluruh pemangku kepentingan untuk segera duduk bersama dan memastikan relokasi benar-benar terjadi dengan tenggat waktu yang pasti.

“Jangan sampai masa depan anak-anak Lasolo Kepulauan dikorbankan hanya demi keuntungan perusahaan. Relokasi harus segera dilakukan, dan bukan sekadar janji,” tegas Jefri.

Sementara itu, Ketua Komisi III DPRD Konut, Samir, justru mengaku belum pernah meninjau langsung kondisi sekolah tersebut. “Senin saya akan tinjau,” katanya singkat, memberi kesan bahwa masalah ini selama bertahun-tahun luput dari perhatian legislatif.

Enam tahun lebih molornya relokasi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah perusahaan memang tidak berniat membangun sekolah baru? Atau justru memanfaatkan situasi ini demi kelancaran ekspansi tambang mereka?

Kondisi ini mencerminkan betapa dunia pendidikan masih berada di urutan bawah dalam prioritas pembangunan daerah yang dikuasai korporasi tambang. Pemerintah seharusnya berdiri di pihak rakyat, bukan jadi penonton atas derita anak-anak yang terpaksa belajar di tengah kebisingan alat berat dan paparan debu tambang.

Sudah waktunya Pemkab Konawe Utara dan DPRD menunjukkan keberpihakan. Pendidikan anak-anak SDN 3 Lasolo bukan sekadar urusan lokal, tapi menyangkut hak dasar warga negara untuk belajar di lingkungan yang sehat dan aman.

Laporan Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *