Skandal Tunjangan Dacil di Konawe: Guru Terpencil Dipalak, Oknum Dikbud Diduga Terlibat

KONAWE, rubriksatu.com — Dunia pendidikan di Kabupaten Konawe kembali tercoreng. Setelah mencuatnya dugaan pungli dana sertifikasi, kini mencuat kasus lebih memprihatinkan. Dugaan pemotongan dana insentif guru daerah terpencil (Dacil), yang seharusnya menjadi penghargaan atas dedikasi para guru di pelosok, justru dijadikan ladang “setoran”.

Seorang guru SD di daerah terpencil mengungkap fakta mencengangkan—setiap kali menerima insentif Dacil, ia “wajib” menyetor Rp4 juta ke kepala sekolah. Uang itu, menurut pengakuannya, diserahkan ke staf di Bidang GTK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Konawe.

“Tolong ditelusuri. Kami selalu diminta setor Rp4 juta tiap pencairan insentif Dacil. Katanya untuk staf bidang GTK,” ujarnya.

Staf Bidang GTK Dikbud Konawe, Haldi Syukur, langsung membantah keras tudingan tersebut. Ia menyatakan tidak ada praktik setoran, dan bahwa dana insentif langsung masuk ke rekening guru.

“Kalau pun ada (pemberian), hanya ucapan terima kasih secara sukarela,” ucapnya.

Namun, bantahan ini bertolak belakang dengan pengakuan seorang kepala sekolah SD yang juga berbicara kepada media.

“Memang biasa ada guru kasih uang setelah pencairan. Katanya sebagai ucapan terima kasih,” ujar kepala sekolah itu, meski menolak menyebut ke mana uang itu disetor.

Tunjangan Dacil yang kini disebut sebagai tunjangan khusus diberikan kepada guru PNS yang bertugas di wilayah sulit akses. Dana ini adalah hak, bukan imbalan. Bila benar disunat tanpa dasar hukum, maka itu adalah praktik pungli yang masuk ranah pidana.

Sayangnya, Kepala Dinas Dikbud Konawe, Dr. Suryadi, tampak tak ingin tahu. Saat dikonfirmasi, ia justru menyarankan wartawan agar menanyakan langsung ke bidang terkait.

“Saya tidak tahu soal itu, coba konfirmasi saja ke bidangnya,” ucap Suryadi singkat.

Yang lebih mencengangkan, salah satu kepala sekolah secara gamblang menyebutkan nominal pungli yang “biasa” diminta ke guru.

“Kalau saya, biasa mereka setor Rp2 juta. Tapi ada kepala sekolah lain yang minta sampai Rp4 juta per guru,” ungkapnya.

Ia juga menyebutkan bahwa uang tersebut dikumpulkan untuk disetor ke Dikbud, meski tak menyebut nama siapa penerimanya.

Guru di pelosok sudah bekerja keras melawan keterbatasan, mulai dari akses jalan hingga kekurangan fasilitas. Bila insentif mereka ikut “dijarah” oleh sistem, maka ini bukan sekadar soal uang—ini tentang rusaknya integritas lembaga pendidikan.

Jika benar dana ini mengalir ke dalam tubuh Dikbud Konawe, publik berhak tahu siapa yang menikmati hasil dari jerih payah para guru ini? Dan lebih penting lagi, apa tindakan hukum yang akan diambil?

Laporan Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *