KONUT, rubriksatu.com – Laporan resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia mengungkap fakta mencengangkan terkait dugaan pelanggaran berat dalam pengelolaan tambang nikel di Konawe Utara.
Perusahaan yang disorot adalah PT Mushar Utama Sultra (MUS) salah satu perusahaan tambang yang diduga membuka kawasan hutan tanpa izin dan menambang tanpa memenuhi kewajiban lingkungan.
Temuan itu termuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan tujuan tertentu Nomor: 13/LHP/XVII/05/2024 tertanggal 20 Mei 2024.
Dalam laporan tersebut, BPK dengan tegas menyebut PT MUS membuka lahan di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 3,52 hektare di Kecamatan Molawe, Konawe Utara, tanpa mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
“Berdasarkan hasil analisis atas luasan areal bukaan lahan dalam wilayah konsesi IUP PT MUS, ditemukan aktivitas tambang tanpa perizinan IPPKH,” tulis auditor BPK RI dalam laporan resminya.
Tak hanya itu, PT MUS juga belum menempatkan dana Jaminan Reklamasi (Jamrek) dan Pascatambang, sebuah kewajiban vital untuk menjamin pemulihan lingkungan setelah kegiatan tambang berakhir.
Artinya, PT MUS diduga merusak hutan tanpa izin, mengambil keuntungan tanpa tanggung jawab ekologis.
Penelusuran lanjutan media di database Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM mengungkap fakta mengejutkan:
PT Mushar Utama Sultra tercatat memiliki salah satu pemegang saham atas nama Bupati Konawe, Yusran Akbar, ST, dengan kepemilikan sebesar 20 persen.
Selain itu, dua entitas lain, PT Sultra Mineral Persada (20%) dan PT Mandiri Dermaga Sultra (60%), juga tercatat sebagai pemegang saham.
Menariknya, nama Yusran Akbar juga masih tercantum sebagai Komisaris Utama PT Unaaha Nikel Persada (UNP) perusahaan yang bergerak di bidang transportasi dan penjualan hasil tambang. Di perusahaan ini, Yusran juga memiliki saham sebesar 35 persen.
Keterlibatan seorang kepala daerah dalam bisnis tambang yang beroperasi di wilayahnya sendiri jelas merupakan pelanggaran serius terhadap etika pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain itu, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 7 Tahun 2022 secara tegas melarang kepala daerah memiliki atau mengendalikan kepentingan bisnis yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Kuasa hukum Bupati Konawe, Muh. Amdre, membantah keras tudingan bahwa kliennya masih menjabat sebagai komisaris di salah satu perusahaan tambang.
“Isu yang beredar tentang Yusran Akbar masih menjabat sebagai komisaris tidak benar. Sejak menjabat bupati, beliau telah mengundurkan diri dan tidak lagi memiliki hubungan dengan perusahaan apa pun,” ujarnya dikutip dari Inmedias.com, Minggu (2/11/2025).
Namun, fakta berbeda ditemukan di sistem resmi MODI Kementerian ESDM, di mana nama Yusran Akbar masih aktif tercatat sebagai pemegang saham dan Komisaris Utama PT UNP.
Pihak kuasa hukum berdalih bahwa data tersebut belum diperbarui oleh perusahaan.
Namun, hingga berita ini diterbitkan, tidak ada bukti surat resmi pengunduran diri maupun pembaruan dokumen hukum di Kementerian ESDM.
Keberadaan kepala daerah dalam struktur perusahaan tambang bukan hanya pelanggaran etik, tetapi bentuk nyata konflik kepentingan.
Bupati memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi, mengawasi, bahkan menandatangani dokumen perizinan pertambangan. Bila yang bersangkutan juga memiliki saham di perusahaan tambang, maka setiap keputusan publik berpotensi menguntungkan dirinya sendiri.
Pelanggaran seperti ini bukan hanya soal etika, tapi bisa mengarah pada tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam UU Tipikor dan UU Administrasi Pemerintahan.
Aktivis antikorupsi menilai, temuan BPK ini seharusnya menjadi alarm keras bagi aparat penegak hukum.
“Jika kepala daerah punya saham di tambang yang izinnya bermasalah, itu bukan sekadar pelanggaran administrasi itu konflik kepentingan yang nyata. Aparat harus turun tangan,” tegas salah satu aktivis hukum di Kendari.
Editor Redaksi












