BOMBANA, rubriksatu.com – Desa Pangkalaero, Kecamatan Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana, kini menjadi saksi bisu dampak aktivitas tambang PT Tekonindo. Perusahaan tambang nikel ini menghadapi tuntutan warga yang merasa dirugikan akibat longsor yang terjadi di sekitar wilayah operasinya.
Wawan Zulkarnain, salah satu warga terdampak, berdiri di tengah lahan miliknya yang kini berubah drastis. Pohon-pohon jati yang dulu menghijau kini hanya tersisa sebagai bukti diam kerusakan. Longsor yang terjadi akibat galian tambang PT Tekonindo telah merusak sekitar 30 meter lahan miliknya.
“Longsor ini terjadi karena aktivitas tambang persis di samping lahan saya. Kedalaman galiannya mencapai 20 sampai 30 meter. Sekarang lahan saya ikut ambles,” keluh Wawan, Jumat (25/1/2025).
Sejak kejadian itu, Wawan telah beberapa kali mencoba berkomunikasi dengan pihak perusahaan. Ia menuntut ganti rugi sebesar Rp300 juta untuk lahan yang terdampak. Namun, hingga kini, tuntutannya belum mendapat respons positif.
“Pihak perusahaan malah menawarkan opsi pembebasan lahan. Mereka ingin saya menyerahkan lahan ini sepenuhnya dengan nilai Rp300 juta, tapi saya tidak setuju. Saya hanya ingin ganti rugi, bukan pembebasan lahan,” tegas Wawan.
Kondisi ini semakin diperparah oleh cuaca buruk. Hujan yang terus mengguyur kawasan tersebut dikhawatirkan akan memperluas longsor. Wawan berharap pihak perusahaan tidak hanya memberikan ganti rugi, tetapi juga mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah longsor lebih lanjut, seperti membangun talut atau penahan tanah.
Sementara itu, Direktur PT Tekonindo, Nur Baco, memberikan pernyataan berbeda. Ia mengklaim perusahaan bersedia memberikan Rp300 juta, tetapi dengan syarat lahan tersebut dibebaskan sepenuhnya.
“Jika Rp300 juta diberikan, itu berarti pembebasan lahan, bukan sekadar ganti rugi untuk longsor. Artinya, lahan dan tanaman di atasnya menjadi milik kami,” ujar Nur Baco.
Situasi ini mencerminkan dilema yang kerap dihadapi masyarakat di sekitar tambang. Di satu sisi, mereka membutuhkan kompensasi yang adil atas kerugian yang mereka alami. Di sisi lain, perusahaan sering kali menawarkan solusi yang dianggap tidak memadai oleh warga.
Bagi Wawan, perjuangan ini bukan hanya soal uang, tetapi juga soal menjaga keberlanjutan hidupnya di atas tanah yang telah lama menjadi tumpuan keluarganya.
“Saya hanya ingin keadilan. Lahan ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga warisan keluarga. Saya berharap perusahaan bertanggung jawab dan segera menyelesaikan masalah ini dengan baik,” tutupnya dengan nada penuh harap.
Laporan Redaksi