KONAWE, rubriksatu.com – Polemik klaim tanah adat di Kecamatan Routa kembali memanas. Forum masyarakat setempat menegaskan secara tegas bahwa tidak pernah ada tanah adat atau ulayat yang sah secara hukum maupun adat di wilayah Routa. Klaim sepihak yang beredar dinilai sebagai tindakan yang menyesatkan, tidak berdasar, dan berpotensi memicu konflik baru.
Pernyataan keras ini disampaikan sebagai respons terhadap surat yang mengatasnamakan Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Adat Tolaki (DPP LAT) bersama Rumpun Masyarakat Adat Anakia Wiwirano Routa, yang mengklaim adanya tanah adat di Routa dan mengirimkan surat resmi kepada PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM).
Surat tersebut tertanggal 22 September 2025 dengan nomor 002/SP/KKBM-AW/IX/2025, ditandatangani Ketua Umum DPP LAT Dr. H. Lukman Abunawas serta Yeniyas Latorumo yang mengklaim diri sebagai Ketua Rumpun Masyarakat Adat Wiwirano Routa.
Namun bagi masyarakat Routa, surat itu tidak lebih dari klaim sepihak yang tidak memiliki legitimasi hukum maupun adat.
Sekjen Lentera Sultra, Randi Liambo, menegaskan bahwa klaim tanah adat tersebut sepenuhnya tidak memiliki dasar administratif maupun legal, bahkan dianggap sebagai tindakan yang mengabaikan fakta sejarah masyarakat Routa.
“Sepanjang pengetahuan kami, tidak pernah ada penetapan tanah adat di Routa, baik oleh hukum adat maupun negara. Tidak ada proses administrasi, tidak ada musyawarah, tidak ada inventarisasi. Klaim itu muncul entah dari mana,” tegas Randi di kediamannya, Senin (8/12/2025).
Menurutnya, tindakan tersebut sangat fatal karena mengatasnamakan adat Tolaki tetapi tidak melibatkan satu pun tokoh adat atau masyarakat yang tinggal di Routa.
“Saya sudah konfirmasi ke tokoh-tokoh di Routa. Tidak ada pelibatan, tidak ada musyawarah. Bahkan yang mengklaim itu bukan orang Routa, tidak tinggal di sini, dan tidak paham sejarah sosial kami,” tegasnya lagi.
Randi memaparkan bahwa pengakuan tanah adat memiliki prosedur ketat, inventarisasi oleh pemerintah, pengajuan resmi masyarakat adat, verifikasi lapangan, penetapan wilayah adat, hingga pencatatan hak ulayat.
“Tidak bisa seenaknya kirim surat lalu klaim tanah adat. Itu bukan mekanisme adat, itu bukan mekanisme negara,” ujarnya.
Randi juga mengecam tindakan DPP LAT dan Yeniyas Latorumo yang langsung menyurati perusahaan tanpa mekanisme adat maupun komunikasi dengan masyarakat setempat.
Randi menyebut bahwa masyarakat Routa telah melalui proses panjang terkait hak-hak mereka di wilayah izin PT SCM. Seluruh kompensasi tanaman damar, kopi, dan lainnya telah dibayar dan diselesaikan melalui musyawarah bersama pemerintah dan warga.
“Waktu kami berjuang dulu, memperjuangkan damar dan kopi kami, kami berdarah-darah dan lelah. Di mana lembaga adat dan saudara Yeniyas Latorumo saat itu? Mengapa baru sekarang muncul mengklaim tanah adat?” ucapnya dengan nada keras.
Randi mengingatkan bahwa penggunaan nama Routa untuk kepentingan kelompok tertentu adalah tindakan yang sangat berbahaya.
“Jangan bikin masalah untuk kami. Jangan jadikan nama Routa sebagai komoditas untuk kepentingan kalian. Kalau muncul konflik, yang menanggung akibatnya adalah masyarakat Routa,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya memahami status lahan secara benar, sebab kesalahan administratif dalam klaim tanah dapat berujung pada proses hukum.
“Semua pihak harus berhati-hati. Jangan main-main dengan klaim tanah. Konsekuensinya bisa sangat besar,” pungkasnya.
Editor Redaksi













