KONAWE, rubriksatu.com – Rencana Pemerintah Kabupaten Konawe menggelar pelantikan Ketua PKK, PAUD, dan kader Posyandu di tingkat kecamatan, desa, dan kelurahan menuai kecaman keras.
Lembaga Pengawasan Pembangunan dan Kebijakan (LPPK) Sulawesi Tenggara menilai kebijakan ini tidak peka terhadap kondisi ekonomi masyarakat dan justru menambah beban desa yang saat ini tengah menghadapi tekanan anggaran.
Ketua LPPK Sultra, Karmin SH, mengungkapkan bahwa pihaknya menerima data terkait daftar kebutuhan atribut pelantikan yang justru dibebankan kepada pemerintah desa dan kelurahan. Pengambilan atribut tersebut dijadwalkan pada 24 November 2025 di Ballroom Hotel Tiga Putra.
Rincian biaya atribut yang wajib ditebus desa/kelurahan antara lain, Pin PKK Rp50.000, Pin PAUD Rp50.000, Pin Posyandu Rp50.000, Selempang Rp100.000, Rompi Posyandu Rp200.000, Jilbab Posyandu (ungu) Rp25.000, dan Jilbab PKK (hijau toska) Rp25.000.
Tidak berhenti di situ. Setiap desa dan kelurahan juga dibebankan biaya Rp800.000 untuk mendukung pelaksanaan pelantikan.
“Informasi soal pengambilan atribut ini sudah dikirim ke seluruh Ketua PKK. Ada 291 desa dan 57 kelurahan di Kabupaten Konawe. Bayangkan berapa besar total uang yang harus dikeluarkan,” tegas Karmin, Senin (17/11/2025).
Menurut LPPK, kebijakan ini sangat tidak berdasar. Semua kepala desa di Konawe sudah dilantik, dan secara otomatis istri kepala desa telah sah menjadi Ketua TP PKK tanpa perlu pelantikan ulang. Demikian pula kader Posyandu dan PAUD yang selama ini telah aktif bekerja di lapangan.
“Pelantikan ulang seperti ini tidak mendesak, tidak prioritas, dan justru menggerus anggaran desa. Pemerintah kabupaten seharusnya lebih bijak melihat kondisi masyarakat yang sedang berjuang pulih secara ekonomi,” kritiknya.
LPPK Sultra juga menyoroti fakta bahwa desa-desa di Konawe baru saja menghabiskan anggaran besar untuk mengikuti Pameran Expo Inovasi Desa 2025 pada 5–11 November 2025. Pendanaannya pun berasal dari swadaya desa, termasuk pemotongan honor aparat desa.
“Belum selesai desa menutup pengeluaran expo, kini muncul lagi biaya atribut dan Rp800 ribu untuk pelantikan. Ini bukan hanya tidak sensitif, tetapi berpotensi membebani fiskal desa secara berlebihan,” tambah Karmin.
Ia mendesak Pemerintah Kabupaten Konawe mengevaluasi rencana tersebut dan tidak menjadikan desa sebagai sumber pendanaan kegiatan seremonial yang tidak memiliki urgensi tinggi.
“Jika pemerintah tetap memaksakan pelantikan berbiaya ini, maka sama saja membiarkan desa terus terbebani. Kami meminta Pemkab mendengar suara publik, bukan sekadar menjalankan kegiatan seremonial,” tutupnya.
Editor Redaksi













