KONAWE, rubriksatu.com — Pagar megah yang kini berdiri mengelilingi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Konawe tampak kokoh dan rapi. Namun siapa sangka, di balik kokohnya beton itu, mencuat aroma dugaan korupsi yang mengguncang kepercayaan publik.
Di penghujung Maret 2025, sekelompok aktivis lokal mendobrak sunyi dengan langkah berani mereka melaporkan KPU Konawe ke Aparat Penegak Hukum. Laporan itu bukan sekadar keluhan, tetapi berisi dugaan serius terkait penyimpangan dana dalam proyek pembangunan pagar dan penimbunan lahan kantor.
Anggaran proyek itu lebih dari Rp600 juta. Namun yang menjadi sorotan bukan hanya besarnya nominal, melainkan sumber dan pengelolaannya. Dana tersebut berasal dari reward bank mitra, sebagai bentuk apresiasi atas pengelolaan dana hibah Pilkada Konawe yang mencapai Rp68 miliar. Sayangnya, reward yang semestinya menjadi bonus kinerja, diduga justru menjadi celah praktik kolusi dan korupsi.
“Pagar itu bukan sekadar bangunan, tapi simbol dari kebobrokan tata kelola dana publik jika memang terbukti ada korupsi,” ujar salah satu pelapor, yang enggan disebut namanya karena alasan keamanan. Menurutnya, sejak awal proyek tidak pernah dipublikasikan secara terbuka. Tidak ada papan proyek, tidak ada tender yang bisa ditelusuri, dan tak ada laporan resmi ke publik.
Informasi yang diterima awak media ini menyebutkan bahwa pihak internal KPU diduga menggunakan dana reward tersebut secara sepihak. Dana yang mestinya dikelola dengan transparansi, justru diduga digunakan tanpa melalui mekanisme pengawasan yang jelas.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Konawe, Andi Amin, SH, MH, membenarkan bahwa laporan tersebut telah masuk.
“Benar, laporan dugaan tindak pidana korupsi di KPU Konawe kami terima satu minggu sebelum Idulfitri,” ungkapnya saat diwawancarai.
Meski belum ada perkembangan yang bisa diumumkan secara publik, pihak kejaksaan menyatakan komitmen untuk menangani kasus ini sesuai prosedur.
Namun waktu terus berjalan. Di tengah masyarakat, keraguan mulai tumbuh: akankah laporan ini menjadi kasus serius atau sekadar angin lalu?
Dihubungi terpisah, salah satu Komisioner KPU Konawe, Ramdhan Risky Pratama, SH, mengaku belum tahu-menahu tentang laporan yang menyeret lembaganya.
“Saya belum menerima informasi terkait itu. Jadi saya belum bisa berkomentar lebih jauh,” katanya singkat.
Pernyataan tersebut menambah kegelisahan publik. Lembaga sekelas KPU, yang menjadi pilar demokrasi, semestinya tampil terbuka dan bertanggung jawab. Sayangnya, dalam kasus ini, keheningan justru mendominasi.
Di warung kopi, di pasar, hingga di media sosial, kabar ini menjadi bahan perbincangan hangat. Warga Konawe, yang selama ini menyaksikan pemilihan demi pemilihan dengan penuh antusiasme, kini mulai mempertanyakan: jika lembaga penyelenggara pemilu saja diduga bermain dengan dana publik, bagaimana nasib demokrasi kita?
“Bukan soal pagarnya. Ini soal integritas. Kalau lembaga seperti KPU sudah mulai dicurigai, masyarakat makin sulit percaya pada proses pemilu,” ucap Hasman, seorang guru honorer di Wawotobi.
Masyarakat Konawe kini menanti: apakah aparat hukum berani membuka semua tabir kasus ini, ataukah pagar tinggi itu justru akan menutup akses pada keadilan.
Satu hal yang pasti, kepercayaan publik tidak bisa dibangun dari dinding beton. Ia lahir dari transparansi, kejujuran, dan keberanian untuk bertanggung jawab.
Laporan Redaksi