KONUT, RUBRIKSATU.com – Ratusan kepala keluarga (KK) di Desa Waturambaha, Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara, mulai mengalami kekhawatiran. Pemukiman tempat tinggal mereka selama puluhan tahun ternyata berada di kawasan hutan.
Menurut warga setempat, lokasi perumahan dan perkebunan ini awalnya ditetapkan oleh pemerintah sebagai tempat relokasi dari Pulau Labengki Besar. Namun, kini mereka merasa cemas karena status lokasi pemukiman mereka telah berubah menjadi kawasan hutan.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menolak menerbitkan sertifikat tanah kepada warga karena status tanah mereka saat ini berada di atas kawasan hutan.
“Setelah memeriksa peta, BPN menolak. Mereka meminta agar status kawasan ini diturunkan terlebih dahulu sebelum sertifikat dapat diterbitkan,” kata Wakir, seorang warga Desa Waturambaha yang dikonfirmasi media ini, Jumat malam (29/9/2023).
Wakir adalah salah satu dari ratusan KK yang tinggal di kawasan tersebut. Dia menceritakan bahwa mereka pertama kali dipindahkan ke Desa Waturambaha dari tempat sebelumnya yang dikenal sebagai Pasir Panjang. Pada tahun 1996-1997, Pasir Panjang (Waturambaha) ditetapkan sebagai perkampungan melalui program Kementerian Sosial.
Pada tahun 1998, tempat ini dijadikan desa persiapan. Lahan tersebut kemudian dibagi kepada masyarakat dengan lokasi pekarangan rumah seluas 35 meter persegi, ditambah lahan dua hektar untuk perkebunan masing-masing KK.
Warga kini bingung karena status kawasan mereka yang sebelumnya diubah dari kawasan hutan menjadi area penggunaan lain (APL), kini kembali dianggap sebagai kawasan hutan.
“Masyarakat merasa bingung dengan sikap pemerintah. Mereka meminta kita untuk tinggal di sini, namun sekarang kami merasa kecewa,” keluhnya.
Bukan hanya pemukiman dan perkebunan warga yang terkena dampaknya. Ternyata, fasilitas publik seperti bangunan sekolah juga terletak di atas tanah kawasan hutan produksi terbatas (HPT).
“Wakir menyampaikan rasa kecewanya, bukan hanya lahan perkebunan yang dibagikan, namun bahkan tempat tinggal kami juga berada di atas kawasan hutan. Kami hanya bisa menunggu untuk diusir dari kawasan kehutanan,” kata Wakir dengan suara lesu.
Keluhan yang sama juga dirasakan oleh Muslimin. Dia bersama keluarganya telah menempati perkampungan tersebut sejak tahun 1997 melalui program dari Kementerian Sosial. Puluhan tahun bermukim, ternyata lahan perkebunan yang diberikan oleh Kementerian Sosial berada di atas kawasan hutan produksi terbatas.
“Dulu, Waturambaha adalah tempat di Pulau Labengki Besar. Kami dipindahkan ke sini,” ungkapnya.
Kegundahan hati juga dialami oleh warga lainnya, seperti Halim. Rumah tempat tinggal keluarganya belum mendapatkan legalitas resmi dari Badan Pertanahan Nasional. Alasan utamanya adalah status tanah yang masih berada di atas HPT.
“Kita ingin mengurus sertifikat, tapi tidak bisa kecuali status hutan diturunkan terlebih dahulu,” ungkap pria berusia 43 tahun tersebut.
Wakir, Muslimin, dan Halim mewakili ratusan kepala keluarga yang terkendala oleh status hutan. Mereka berharap agar Kementerian Kehutanan menurunkan status hutan dari kawasan pemukiman dan perkebunan mereka sehingga mereka dapat mengatasi kekhawatiran dan ketidakpastian yang mereka alami.
Sebagian besar warga Waturambaha berprofesi sebagai nelayan dan beberapa juga menjadi karyawan perusahaan pertambangan yang beroperasi di desa mereka.
“Kami berharap masalah status tanah ini segera diselesaikan agar kami bisa hidup dengan nyaman di sini. Kami prihatin bahwa pemukiman kami yang sudah kami tempati sejak lama, kini statusnya adalah hutan produksi terbatas,” pungkasnya.
Laporan Redaksi