KONAWE, rubriksatu.com – Polemik peredaran kain tenun bermotif Tabere Siwole di Kabupaten Konawe kian memanas dan menyeruak ke ruang publik. Motif yang dipasarkan melalui Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Konawe itu menuai sorotan karena dinilai menutup ruang produksi dan distribusi bagi perajin lain, bahkan memunculkan tudingan monopoli terselubung.
Menanggapi polemik tersebut, Sekretaris Dekranasda Konawe, Yusniati, akhirnya angkat bicara. Ia menegaskan bahwa pengetatan peredaran kain bermotif Tabere Siwole bukan bentuk penguasaan produksi, melainkan diklaim sebagai upaya pengendalian kualitas.
Yusniati menjelaskan, motif Tabere Siwole bukan milik Dekranasda secara kelembagaan, melainkan hak cipta pribadi.
Menurutnya, motif tersebut diciptakan oleh Yusran Akbar, yang kini menjabat Bupati Konawe, dan hak cipta kemudian diserahkan kepada Hania, istri Bupati sekaligus Ketua Dekranasda Konawe, sebagai hak personal.
“Memang Pak Bupati yang menciptakan, tapi yang memegang hak cipta itu Ibu Bupati secara pribadi, bukan Dekranasda,” ujar Yusniati.
Ia menyebut, kebijakan distribusi satu pintu melalui Dekranasda merupakan keinginan pemegang hak cipta agar peredaran kain tidak liar dan kualitas tetap terjaga. Skema tersebut, kata dia, juga diklaim sebagai upaya mengoordinasikan keterlibatan UMKM.
“Ibu inginnya Tabere Siwole itu disalurkan satu pintu lewat Dekranasda, supaya UMKM menyetor produksinya ke Dekranasda, lalu kita pasarkan. Produksi boleh di mana saja, tapi setelah jadi harus dibawa ke Dekranasda untuk dicek kualitasnya,” jelas Yusniati.
Namun di lapangan, kebijakan tersebut memicu pertanyaan. Yusniati mengakui adanya perbedaan pandangan soal kualitas dengan salah satu penjual kain lokal di Konawe. Produk penjual tersebut dinilai tidak memenuhi standar motif dan bordir, meski akhirnya tetap diterima untuk dipasarkan di Gerai Dekranasda.
“Kemarin ada penjual kain dari Konawe Dinamis. Menurut Ibu, motif dan kualitasnya kurang kuat, tapi kainnya tetap kita ambil untuk dipasarkan,” ungkapnya.
Ia menekankan, persoalan kualitas bukan pada bahan kain, melainkan pada hasil bordiran. Pasalnya, kain Tabere Siwole yang beredar saat ini bukan tenun manual sepenuhnya, melainkan kombinasi dengan bordir.
“Yang dipesan Ibu Bupati itu bordirannya rapat. Sementara yang dipesan Dinamis bordirannya kurang rapat, hasilnya kurang rapi,” katanya.
Yusniati juga membantah tudingan bahwa Dekranasda Konawe memproduksi kain Tabere Siwole. Seluruh kain yang dijual saat ini, kata dia, diproduksi menggunakan anggaran pribadi Hania selaku pemegang hak cipta.
“Dekranasda tidak memproduksi. Kain yang dijual itu diproduksi pakai anggaran pribadi Ibu Hania,” tegasnya.
Padahal, pada tahun anggaran 2025, Dekranasda Kabupaten Konawe tercatat memperoleh alokasi dana lebih dari Rp400 juta. Namun, dana tersebut disebut tidak digunakan untuk produksi kain Tabere Siwole.
Ke depan, Dekranasda berencana menyusun nota kesepahaman (MoU) dengan para perajin. Meski demikian, standar mutu tetap menjadi syarat mutlak. Setiap kain yang akan dipasarkan wajib melalui proses pemeriksaan kualitas oleh Dekranasda.
“Nanti akan ada MoU, tapi kualitas bordiran dan kain tetap dicek dulu. Kalau sudah oke, baru bisa dijual sebagai perpanjangan tangan Dekranasda,” pungkas Yusniati.
Editor Redaksi












