Kejar Tayang Anggaran, Proyek-Proyek di Konawe Terancam Gagal Tepat Waktu

KONAWE, rubriksatu.com – Pemerataan pembangunan sejatinya merupakan cita-cita kolektif masyarakat saat menentukan arah kepemimpinan daerah. Harapan besar diletakkan di pundak kepala daerah dan wakilnya agar mampu menghadirkan kesejahteraan yang berkeadilan, bukan sekadar menumpuk proyek fisik demi citra dan angka serapan anggaran.

Namun, idealisme tersebut kerap berhadapan dengan realitas pahit di lapangan. Pembangunan yang semestinya dirancang matang, terukur, dan berorientasi jangka panjang justru terkesan dipaksakan, terutama menjelang akhir tahun anggaran.

Kecepatan menjadi mantra utama, sementara kualitas pekerjaan, ketepatan perencanaan, serta kepatuhan terhadap regulasi seolah ditempatkan di urutan kesekian. Publik pun mulai bertanya: apakah pembangunan ini benar-benar untuk rakyat, atau sekadar memenuhi target administratif dan ambisi pencitraan?

Di ruang publik, berbagai proyek kerap dipromosikan sebagai bukti keberhasilan pemerintah daerah. Tak sedikit masyarakat awam yang menilai pembangunan masif sebagai indikator sukses kepemimpinan. Namun, di balik gemerlap proyek-proyek tersebut, tersimpan potensi persoalan serius yang mengancam kualitas infrastruktur dan tata kelola pemerintahan.

Indikasi “buru setoran” anggaran kian sulit diabaikan. Proyek digenjot demi kuantitas, sementara kelayakan waktu pelaksanaan dan risiko hukum nyaris diabaikan. Padahal, dalam praktik pengelolaan keuangan daerah—terutama pada APBD Perubahan—banyak kepala daerah justru menghindari proyek fisik berskala besar karena keterbatasan waktu di akhir tahun berisiko tinggi terhadap kegagalan pekerjaan dan persoalan hukum.

Sayangnya, logika kehati-hatian tersebut tampaknya tak sepenuhnya berlaku di Kabupaten Konawe.

Ketua Lembaga Pengawasan Pembangunan dan Kebijakan (LPPK) Sultra, Karmin, SH, menilai sejumlah proyek sejak awal sudah diprediksi sulit diselesaikan tepat waktu, namun tetap dipaksakan untuk dilelang.

Lebih ironis lagi, kata Karmin, Badan Anggaran (Banggar) DPRD Konawe telah secara tegas mengingatkan agar proyek konstruksi yang berpotensi tak rampung karena keterbatasan waktu tidak dipaksakan dalam APBD-P.

“Peringatan itu seolah diabaikan. Proses lelang tetap berjalan, seakan pertimbangan teknis dan risiko hukum bukan prioritas,” ujar Karmin, Kamis (25/12/2025).

Fenomena ini pun memicu kegelisahan publik. Masyarakat mulai mempertanyakan, apa yang sebenarnya dikejar oleh pemerintah daerah? Pembangunan berkelanjutan atau target lain yang tak kasat mata?

Karmin mencontohkan Proyek Revitalisasi STQ Kota Unaaha dengan nilai anggaran Rp2,829 miliar, bersumber dari APBD-P Konawe, dengan masa pelaksanaan 30 hari kalender sejak 25 November hingga 24 Desember 2025.

“Kontraknya sudah berakhir, tetapi pekerjaannya belum selesai,” tegas Karmin.

Selain itu, terdapat Pekerjaan Rehabilitasi Rumah Jabatan Bupati Konawe senilai Rp3,229 miliar, dengan masa pelaksanaan hingga 26 Desember 2025, yang juga dilaporkan belum rampung.

Tak hanya itu, Proyek Rekonstruksi/Peningkatan Jalan Lakidende (2 Jalur) senilai Rp34,72 miliar juga menuai sorotan. Dalam papan informasi proyek, penyedia bahkan tidak mencantumkan waktu pelaksanaan, sebuah kelalaian yang mencederai prinsip transparansi informasi publik.

Dalam situasi ini, wajar jika publik mencium kejanggalan sejak tahap perencanaan, penganggaran, hingga pelelangan proyek. Pembangunan yang dipaksakan bukan hanya berisiko menghasilkan infrastruktur bermutu rendah, tetapi juga berpotensi menyeret berbagai pihak ke ranah hukum, baik perdata maupun pidana, apabila ditemukan pelanggaran, termasuk dugaan korupsi.

Lebih jauh, praktik semacam ini mencederai prinsip efisiensi, akuntabilitas, dan kehati-hatian anggaran yang seharusnya menjadi fondasi utama pemerintahan.

Menanggapi keterlambatan tersebut, Dinas PUPR Konawe melalui Kabid Cipta Karya, Rusdin, menyebut keterlambatan dipicu kendala teknis di lapangan. Meski demikian, kontraktor masih diberikan tambahan waktu 7 hari kalender, dengan denda keterlambatan tetap diberlakukan.

“Kita beri waktu sampai 31 Desember 2025,” kata Rusdin saat ditemui di lokasi proyek Revitalisasi STQ Unaaha.

Menurutnya, kontrak belum diputus karena penyedia masih menunjukkan komitmen menyelesaikan pekerjaan.

“Kalau kontrak diputus, proyek akan mangkrak. Itu yang kita antisipasi,” ujarnya.

Namun bagi publik, tambahan waktu di ujung tahun tak serta-merta menjawab persoalan mendasar, mengapa proyek yang sejak awal berisiko tetap dipaksakan.

Pembangunan sejatinya bukan soal siapa tercepat menyerap anggaran, melainkan siapa paling bertanggung jawab menjaga uang rakyat. Ketika akal sehat dikalahkan oleh ambisi dan kejar tayang anggaran, maka yang lahir bukan kemajuan, melainkan warisan persoalan yang kelak harus dibayar mahal oleh masyarakat.

Laporan Tim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *