KOLAKA, rubriksatu.com – Kepala Rumah Tahanan Negara (Karutan) Kelas IIB Kolaka, Bambang Punto Herdiyanto, resmi dinonaktifkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) setelah terbongkarnya skandal penipuan dan pemerasan daring oleh seorang narapidana dari dalam sel.
Kasus ini bukan sekadar pelanggaran disiplin biasa, tapi tamparan keras terhadap sistem pengawasan di lembaga pemasyarakatan.
Bagaimana mungkin seorang napi bisa dengan leluasa menggunakan handphone, melakukan video call sex (VCS), hingga memeras korban senilai Rp210 juta tanpa ada yang tahu.
Pelaku berinisial Y, napi Rutan Kolaka, menipu seorang wanita berinisial N dengan mengaku sebagai anggota TNI AL dan berjanji menikahinya.
Tidak berhenti di situ, pelaku bahkan melakukan VCS dengan korban, merekamnya secara diam-diam, lalu mengancam menyebarkan video tersebut jika permintaannya tidak dipenuhi. Aksi biadab ini dilakukan dari dalam sel tahanan negara.
“Iya benar mas. Hari ini saya dinonaktifkan,” ujar Bambang singkat saat dikonfirmasi, Rabu (29/10/2025).
Lebih parahnya lagi, pelaku mengaku mendapatkan ponsel dari oknum petugas Rutan Kolaka. Hal ini diakui langsung oleh Karutan nonaktif Bambang Punto Herdiyanto.
“Menurut pengakuan tersangka Y, handphone yang digunakan untuk menipu disediakan oleh seorang petugas Rutan Kelas IIB Kolaka,” ungkap Bambang.
Oknum petugas tersebut kini diperiksa oleh Polresta Kendari dan Ditjen Pemasyarakatan, meski statusnya baru sebatas saksi.
Bambang bilang, penonaktifannya merupakan bentuk tanggung jawab moral sebagai pimpinan. Namun banyak pihak menilai, penonaktifan kepala rutan tidak cukup untuk menjawab kebobrokan sistem pengawasan yang selama ini menjadi rahasia umum di lingkungan pemasyarakatan.
“Saya menyadari ini bagian dari tanggung jawab saya sebagai pimpinan,” ujarnya.
Faktanya, peredaran HP di dalam rutan bukan hal baru. Berulang kali narapidana tertangkap melakukan penipuan, pemerasan, bahkan transaksi ilegal dari balik jeruji. Namun, sanksi yang dijatuhkan pada oknum petugas hampir selalu berujung ringan.
Kasus ini akhirnya terbongkar setelah Unit Tipidter Satreskrim Polresta Kendari menangkap napi Y di dalam Rutan Kolaka, Kamis (23/10/2025).
Dari penyelidikan, terungkap bahwa pelaku telah menipu korban hingga ratusan juta rupiah. Kasus Rutan Kolaka menjadi cermin rapuhnya sistem pemasyarakatan di Sultra.
Masyarakat menilai, Ditjenpas harus berhenti sekadar “mematikan karier pejabat” tanpa menyentuh akar masalah: maraknya jual-beli fasilitas di dalam sel.
Jika napi bisa memiliki HP, melakukan VCS, dan memeras korban dari balik jeruji, maka yang bobrok bukan hanya moral napi tapi juga sistem penjagaan yang gagal menahan korupsi di lingkungannya sendiri.
Editor Redaksi













