Beras Subsidi Rakyat Dioplos, Harga Digasak di Atas HET

BUTON, rubriksatu.com – Skandal pemalsuan beras subsidi untuk rakyat kembali terbongkar di Sulawesi Tenggara. Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Buton berhasil menciduk LI (35), warga Muna Barat, yang diduga menjadi otak pengoplosan beras kemasan resmi milik Perum Bulog.

Modusnya keji: beras lokal dari Konawe dikemas ulang ke dalam karung bekas berlabel SPHP 5 kilogram, tetapi hanya diisi 4 kilogram. Beras ini kemudian dijual ke berbagai daerah, termasuk Kabupaten Buton, dengan harga Rp70 ribu per kemasan—jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp62.500.

Kasus ini terungkap setelah unggahan akun Facebook Asoy Lemkari Buton memicu penyelidikan. Wakapolres Buton, Kompol Yulianus, menyebut tim langsung bergerak mendatangi kios milik Wa Santi di Desa Kondowa, Pasarwajo, Selasa (22/7/2025). Dari keterangan Wa Santi, terungkap pembelian 153 karung beras SPHP dan 11 karung merek Mawar seharga Rp12,25 juta, dibayar melalui transfer ke rekening LJ—kakak kandung LI yang sebelumnya sudah jadi tersangka kasus serupa di Polda Sultra.

Tim gabungan dari Polres Buton, Ditkrimsus Polda Sultra, Subdit Indagsi, dan Polres Muna kemudian memburu LI hingga berhasil menangkapnya di Kota Kendari. Barang bukti yang disita: 128 karung beras SPHP, tiga gulung benang putih, rekening koran, dan puluhan karung kosong.

Kasat Reskrim Polres Buton, Iptu Bangga P. Sidauruk, menegaskan seluruh beras yang dijual LI bukanlah produk Bulog. “Ini murni beras lokal yang dikemas ulang. Pelaku memanfaatkan merek SPHP untuk mengelabui pembeli dan meraup untung besar,” tegasnya.

LI terancam pasal berat dalam UU Perlindungan Konsumen dengan hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda hingga Rp2 miliar.

Kepala Perum Bulog Cabang Baubau, Hendra Dionisius, mengimbau para mitra agar memotong bagian atas kemasan SPHP sebelum dijual dan memusnahkan karung bekas. “Beras SPHP itu untuk konsumen akhir, bukan untuk diputar kembali di pasar oleh mafia pangan,” ujarnya.

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi aparat pengawasan pangan. Publik mendesak agar penyidikan tidak berhenti di pelaku lapangan, tetapi juga menelusuri jaringan besar yang menguasai distribusi dan memanfaatkan celah pengawasan. Sebab, selama mafia beras bermain, yang paling dirugikan adalah rakyat kecil yang haknya atas pangan murah dirampas demi keuntungan segelintir orang.

Editor Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BERITA TERKINI