KENDARI, rubriksatu.com – Bau busuk dari sektor pertambangan mineral logam di Sulawesi Tenggara (Sultra) makin menyengat. Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Provinsi Sultra membeberkan fakta mencengangkan.
Dari 70 perusahaan pemegang RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya), hanya 4 perusahaan yang tertib membayar pajak. Sisanya? Sebanyak 66 perusahaan bandel diduga kuat menunggak pajak dari tahun ke tahun.
Salah satu yang paling mencolok adalah PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM), anak usaha PT Merdeka Copper Gold Tbk yang beroperasi di Kecamatan Routa, Kabupaten Konawe.
Perusahaan ini mengantongi RKAB dalam jumlah luar biasa besar, 16 juta ton lebih di 2024, meningkat menjadi 19 juta ton pada 2025 dan 2026. Namun di balik angka produksi bombastis itu, PT SCM justru mangkir dari kewajiban membayar pajak daerah seperti Pajak Alat Berat (PAP), Pajak BBM, dan TKPBM.
Kepala Bidang Perpajakan Dispenda Sultra, Wakup Karim, mengungkap bahwa hanya empat perusahaan tambang yang patuh membayar kewajiban perpajakan daerah.
“Yang patuh hanya PT Ifishdeco, PT Tomia Mitra Sejahtera, PT ST Nikel Resource, dan PT Moderen Cahaya Makmur. Lainnya masih kami kejar, termasuk PT SCM yang produksinya gila-gilaan,” tegas Wakup.
Yang lebih memprihatinkan, meski bandel dalam membayar pajak, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM RI justru terus memberikan restu kuota RKAB dalam jumlah besar. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar: siapa yang melindungi PT SCM dan perusahaan sejenisnya hingga bisa tetap beroperasi tanpa menyetor pendapatan sah negara?
Di mana logika dan keadilan fiskal negara ini ketika perusahaan tambang yang meraup untung dari hasil bumi justru tak menyetor pajak dan malah terus diberi izin produksi? Siapa yang bermain di balik layar pemberian RKAB tersebut?
Selain PT SCM, masih ada puluhan perusahaan lain yang disebut dalam daftar hitam Dispenda Sultra. Beberapa di antaranya adalah, PT Tiran Indonesia (Konut) RKAB stabil 10 juta ton per tahun (2024–2026), kemudian, PT Ceria Nugraha Indotama (Kolaka) – Produksi jutaan ton Saprolit, Limonit, dan Ferronikel tiap tahun, PT Bumi Karya Utama, PT Stargate Pasifik Resources, PT Gema Kreasi Perdana, dan lainnya.
Ironisnya, perusahaan-perusahaan ini terus menikmati kelonggaran izin tambang tanpa pengawasan yang ketat atas kewajiban fiskalnya. Bila dibiarkan, negara bisa dirugikan triliunan rupiah tiap tahunnya.
Situasi ini memperlihatkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di sektor pertambangan daerah. Dispenda Sultra yang seharusnya berwenang memungut pajak tampak seperti pemadam kebakaran yang datang terlambat — mengejar-ngejar penunggak pajak setelah izin tambang dan produksi sudah terlanjur digelontorkan.
Apakah ini kelalaian, pembiaran, atau ada praktik pembungkaman demi kepentingan politik dan bisnis elite tertentu? Fakta-fakta yang ada mengarah ke dugaan kartel tambang yang dilindungi oleh kekuasaan.
Laporan: Redaksi