JAKARTA, rubriksatu.com – Di sebuah dusun kecil bernama Baliara, di pesisir Kabaena Barat, Sulawesi Tenggara, laut bukan sekadar bentang biru di cakrawala. Ia adalah kehidupan. Adalah dapur yang mengepul, sekolah yang dibayar, dan masa depan yang ditambatkan. Tapi kini, laut itu berubah. Keruh. Sepi. Mati.
Rahim, seorang pemuda asal Sulawesi Tenggara yang kini menjadi mahasiswa di Jakarta, tak bisa menahan amarah dan getirnya ketika menyuarakan nasib masyarakat Baliara dalam sebuah aksi unjuk rasa, Rabu pagi (1/5), di depan kantor pusat PT Timah Tbk. I
a memimpin Konsorsium Pemuda Mahasiswa Sultra-Jakarta untuk menuntut dihentikannya operasi pertambangan PT Timah Investasi Mineral anak perusahaan dari PT Timah Tbk yang dituding sebagai biang kerok kerusakan lingkungan di Baliara.
“Ini bukan cuma soal pencemaran. Ini soal orang tua kami yang tak lagi bisa melaut. Soal anak-anak kami yang harus berhenti sekolah karena tak ada lagi uang hasil tangkapan ikan,” serunya lantang dalam orasi, dengan wajah dibasahi peluh dan amarah.
Menurut Rahim, sejak perusahaan tambang itu beroperasi di sekitar wilayah pesisir Baliara, kualitas air laut memburuk tajam. Lumpur dan limbah pertambangan diduga mencemari perairan. Terumbu karang mati. Ikan-ikan hilang. Para nelayan pulang dengan perahu kosong. Tak jarang, mereka memilih pergi merantau atau beralih profesi—jika ada pilihan.
“Dulu, sebelum tambang datang, kami bisa makan dari laut. Sekarang, laut sudah tidak ramah,” ucapnya.
Tuntutan Rahim dan rekan-rekannya bukan tanpa dasar hukum. Mereka mengutip tegas Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kedua regulasi itu menekankan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan memberikan sanksi bagi pelanggar, termasuk pencabutan izin.
Namun, di balik sorak-sorai demonstrasi dan teks hukum, ada wajah-wajah lelah para nelayan Baliara. Ada ibu-ibu yang mengelus perut kosong anaknya. Ada masa depan yang terancam putus di tengah jalan. Dan itulah yang mereka perjuangkan—bukan sekadar slogan, melainkan nyawa.
“Kami akan terus turun ke jalan. Tidak hanya ke PT Timah, tapi juga ke KLHK dan ESDM. Kami ingin pemerintah benar-benar hadir. Kami ingin keadilan,” tegas Rahim.
Bagi Rahim dan mereka yang bersolidaritas, ini bukan sekadar perjuangan ekologis. Ini adalah perjuangan untuk mempertahankan hak paling dasar: hidup layak dari alam yang diwariskan nenek moyang. Dan selama laut Baliara masih bersedih, suara mereka akan terus bergema di tengah hiruk-pikuk ibu kota.
Laporan Redaksi