KENDARI, rubriksatu.com – Lemahnya pengawasan angkutan tambang di Sulawesi Tenggara (Sultra) kembali terbuka ke publik. Dinas Perhubungan (Dishub) Sultra secara terbuka mengakui bahwa jembatan timbang milik sejumlah perusahaan tambang nikel tidak difungsikan, bahkan ada yang tidak tersedia sama sekali, meski aktivitas pengangkutan material terus berlangsung selama bertahun-tahun tanpa hambatan berarti.
Pengakuan ini mempertegas dugaan publik bahwa pengawasan angkutan tambang selama ini lebih banyak berhenti di atas kertas, sementara praktik di lapangan dibiarkan berjalan bebas.
Sejumlah perusahaan tambang yang disorot dalam persoalan ini antara lain PT ST Nickel Resource, PT Modern Cahaya Makmur (MCM), dan PT Tiara Abadi Sentosa (TAS). Ketiganya diketahui melakukan aktivitas hauling dengan memanfaatkan berbagai kelas jalan, mulai dari jalan Kabupaten Konawe, jalan Kota Kendari, jalan Provinsi Sultra, hingga jalan nasional.
Padahal, penggunaan jembatan timbang merupakan kewajiban mutlak untuk memastikan angkutan tambang tidak melampaui batas tonase. Aturan tersebut dibuat bukan sekadar formalitas, melainkan untuk menjaga keselamatan pengguna jalan dan mencegah kerusakan infrastruktur negara yang dibiayai dari uang rakyat.
Namun fakta di lapangan justru bertolak belakang. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) terungkap bahwa PT ST Nickel Resource dan PT MCM tidak memiliki jembatan timbang sama sekali. Sementara di PT TAS, jembatan timbang disebut hanya menjadi aksesoris administratif yang tidak pernah benar-benar dilalui kendaraan angkutan tambang.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius, di mana peran negara dalam mengendalikan aktivitas angkutan tambang yang jelas-jelas memanfaatkan jalan umum.
Alih-alih menunjukkan sikap tegas, Dishub Sultra justru menyatakan tidak memiliki kewenangan langsung dalam mengawasi aktivitas pertambangan.
“Kami tidak punya tupoksi khusus untuk mengawasi tambang. Kami tergabung dalam tim terpadu bersama Polda, Lantas, dan instansi terkait lainnya,” ujar Kepala Dishub Sultra, Rajulan baru-baru ini.
Pernyataan tersebut dinilai kontras dengan realitas bahwa dugaan pelanggaran ini telah berlangsung sejak sekitar tahun 2015, tanpa satu pun langkah tegas yang benar-benar menghentikan praktik hauling tanpa pengendalian tonase.
Dishub Sultra mengaku hanya mampu mengeluarkan teguran, meski pelanggaran tersebut berpotensi merusak jalan nasional dan daerah.
“Jika rekomendasi tidak dijalankan, kami hanya bisa memberikan teguran dan merekomendasikan ke BPJN. Soal pencabutan izin, itu kewenangan BPJN,” jelas Rajulan.
Ironisnya, teguran tersebut ternyata sudah berkali-kali dilayangkan namun tak pernah diindahkan.
“Masing-masing perusahaan sudah tiga kali kami tegur. Bahkan MCM lebih dari tiga kali,” tambahnya.
Fakta ini justru memperkuat dugaan mandulnya koordinasi antarinstansi dalam tim terpadu yang selama ini digadang-gadang sebagai garda pengawasan angkutan tambang. Teguran berulang tanpa sanksi nyata membuat aktivitas hauling tetap berjalan normal, seolah negara kalah oleh kepentingan industri tambang













