KENDARI, rubriksatu.com – Forum Advokasi Mahasiswa Hukum Indonesia (Fahmi) Sultra–Jakarta menegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara oleh PT Tonia Mitra Sejahtera (PT TMS) tidak dapat dijadikan tameng hukum untuk menghindari jerat pidana atas dugaan perusakan hutan lindung dan kejahatan lingkungan hidup di Pulau Kabaena.
Pernyataan tegas itu disampaikan Ketua Fahmi Sultra–Jakarta, Midul Makati, S.H., M.H., yang menilai upaya pemulihan keuangan negara tidak boleh dipelintir sebagai jalan pintas untuk menghentikan proses hukum.
“Pengembalian kerugian negara bukan penghapus pidana. Itu hanya bagian dari pemulihan keuangan negara, bukan pembebasan tanggung jawab hukum,” tegas Midul kepada media, Kamis (18/12/2025).
Midul menekankan, prinsip dasar hukum pidana Indonesia secara jelas menyatakan bahwa setiap perbuatan melawan hukum tetap harus dipertanggungjawabkan, sekalipun kerugian yang ditimbulkan telah dikembalikan.
Menurutnya, dalam konteks kejahatan lingkungan dan kehutanan, logika hukum tersebut justru harus ditegakkan lebih keras karena dampak kerusakan tidak hanya bersifat finansial, melainkan juga merusak ekosistem dan mengancam hak hidup masyarakat.
“Dalam perkara lingkungan hidup dan kehutanan, pengembalian kerugian negara paling jauh hanya bisa menjadi faktor yang meringankan, bukan alasan untuk menghentikan perkara atau membebaskan pelaku,” ujarnya.
Midul mengingatkan, apabila aparat penegak hukum menjadikan pengembalian kerugian negara sebagai dasar untuk menghentikan kasus, maka hal itu akan menciptakan preseden berbahaya.
“Publik bisa menangkap pesan keliru: bahwa kejahatan lingkungan bisa ‘dibayar’ setelah hutan rusak. Ini berbahaya dan merusak wibawa hukum,” katanya.
Fahmi Sultra–Jakarta menilai penegakan hukum yang setengah hati justru akan membuka ruang impunitas korporasi, terutama bagi perusahaan-perusahaan besar yang memiliki modal kuat dan kedekatan dengan lingkar kekuasaan.
Oleh karena itu, mereka mendesak aparat penegak hukum untuk tidak tunduk pada tekanan politik maupun ekonomi, serta tetap menjalankan proses hukum secara profesional, transparan, dan berkeadilan.
“Penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk melindungi lingkungan hidup dan menjaga kepercayaan publik terhadap institusi negara,” tegas Midul.
Lebih lanjut, Midul merujuk pada sejumlah regulasi yang secara tegas menyatakan bahwa tidak ada penghapusan pidana dalam kasus perusakan lingkungan dan kehutanan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, mengatur sanksi pidana atas perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan dalam Pasal 98 dan Pasal 99, serta ketentuan pidana lainnya dalam Pasal 100 hingga Pasal 103.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas melarang segala bentuk kegiatan yang merusak hutan lindung sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (3), dengan ancaman pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 78.
Tak hanya itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juga mengatur secara khusus kejahatan kehutanan. Larangan perusakan hutan diatur dalam Pasal 12, dengan ancaman pidana berat sebagaimana tertuang dalam Pasal 82 hingga Pasal 85.
“Tidak ada satu pun norma hukum yang menyatakan bahwa sanksi administratif, pembayaran denda, atau pengembalian kerugian negara dapat menggugurkan pertanggungjawaban pidana,” tegas Midul.
Ia bahkan menilai, pengembalian kerugian negara oleh PT TMS justru dapat dibaca sebagai indikasi pengakuan atas adanya perbuatan melawan hukum.
“Dengan demikian, unsur tindak pidana perusakan hutan lindung dan lingkungan hidup patut diduga telah terpenuhi. Aparat penegak hukum memiliki dasar yang cukup untuk melanjutkan proses hukum, termasuk menelusuri tanggung jawab pengelola dan pemilik perusahaan,” ujarnya.
Midul juga menyinggung adanya sorotan publik terkait dugaan keterkaitan perusahaan tersebut dengan elite politik di Sulawesi Tenggara, termasuk nama Gubernur Sultra dan keluarganya, yang menurutnya harus diuji secara hukum, bukan dihindari.
“Hukum tidak boleh tumpul ke atas. Jika ada keterlibatan pihak-pihak berpengaruh, justru di situlah integritas penegakan hukum diuji,” pungkasnya.
Editor Redaksi













