KENDARI, rubriksatu.com – Aroma kejanggalan kembali menyeruak dari tubuh penegakan hukum di Sulawesi Tenggara.
Dalam perkara nomor 294/B/Pid/2025/PN Kdi, terdakwa Deny Zainal Ahuddin dituntut 4 tahun penjara, sementara istrinya, Maliatin, dituntut 3 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung RI, atas dugaan penipuan dan penggelapan ore nikel.
Kasus ini bukan perkara baru. Akar persoalan bermula dari kasus sebelumnya (nomor 563/Pid/B/2018/PN Kdi), di mana Deny Zainal diketahui meminjam uang Rp1,5 miliar kepada Budi Yuwono dengan jaminan 100.000 metrik ton ore nikel yang berada di Desa Dunggua dan Kelurahan Mata, Kabupaten Konawe.
Namun, bukannya memenuhi kewajiban, Deny justru menjual sebagian ore tersebut tanpa sepengetahuan pemilik dana, dan uang hasil penjualan tidak pernah diserahkan kepada Budi.
Akibatnya, ia dilaporkan ke polisi dan dijatuhi pidana ringan tiga bulan penjara, setelah adanya surat perdamaian yang mensyaratkan penyerahan ore 100.000 MT kepada korban.
Masalah tak berhenti di situ. Ore yang dijanjikan kepada korban dan telah diserahkan secara simbolik, mendadak “menghilang” sekitar 80.000 MT. Hilangnya ore ini kembali menyeret Deny ke meja hijau hingga muncul perkara baru nomor 294/Pid/B/2025/PN Kdi.
Namun yang mengundang tanda tanya besar, pada 3 November 2025, Pengadilan Negeri Kendari mengeluarkan surat yang mendadak menyebutkan adanya “kesalahan administrasi” dalam putusan perkara tahun 2018 itu.
Surat yang ditandatangani panitera Armin dan ditujukan kepada kuasa hukum korban Adv. Jushriman, SH., Cs menyebutkan bahwa frasa “100.000 metrik ton ore nikel” dalam putusan pengadilan merupakan kekeliruan pengetikan dan tidak pernah disita atau tercantum dalam tuntutan.
Langkah ini sontak menuai kecaman keras dari pihak korban, Budi Yuwono, yang menilai tindakan PN Kendari aneh dan patut dicurigai.
“Kami punya bukti video eksekusi yang jelas memperlihatkan Deny Zainal menyatakan menyerahkan 100.000 ton ore nikel kepada saya, sesuai putusan pengadilan. Sekarang tiba-tiba disebut salah ketik? Ada apa dengan majelis PN Kendari?” tegas Budi dengan nada geram.
Menurutnya, pernyataan PN Kendari itu berpotensi mencederai integritas lembaga peradilan dan menimbulkan dugaan adanya campur tangan oknum yang ingin menyelamatkan terdakwa.
“Kalau ini dibiarkan, artinya hukum di negeri ini bisa diubah lewat surat panitera! Saya akan laporkan ke Komisi Yudisial (KY), karena ini sudah di luar nalar,” ujar Budi tegas.
Kasus ini membuka kembali perdebatan publik tentang transparansi dan integritas aparat penegak hukum di Kendari. Bagaimana mungkin putusan inkrah tahun 2019 bisa “dikoreksi” enam tahun kemudian dengan alasan salah ketik administratif apalagi menyangkut nilai ore senilai ratusan miliar rupiah.
Apakah ini sekadar kelalaian administratif, atau ada tangan-tangan tak terlihat yang berupaya menghapus jejak kewajiban terdakwa terhadap korban.
Sidang pledoi Deny Zainal dan Maliatin dijadwalkan berlangsung Kamis, 13 November 2025 di Pengadilan Negeri Kendari.
Editor Redaksi













