KOLUT, rubriksatu.com – Tim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) kembali menunjukkan taringnya.
Pada Jumat (17/10/2025), tim gabungan pemerintah itu menyegel lahan bekas tambang milik PT Putra Dermawan Pratama (PDP) di Desa Sulaho, Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, setelah ditemukan aktivitas tanpa izin di kawasan hutan negara.
Plang besar bertuliskan larangan resmi kini terpampang di lokasi seluas 54,36 hektare. Isinya tegas:
“DILARANG MEMPERJUALBELIKAN DAN MENGUASAI TANPA IZIN SATGAS PENERTIBAN KAWASAN HUTAN.”
Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah mulai menertibkan sisa-sisa keserakahan perusahaan tambang yang selama ini mengeruk sumber daya alam tanpa izin dan meninggalkan kerusakan lingkungan parah di Kolaka Utara.
Kasat Reskrim Polres Kolaka Utara, AKP Fernando Oktober, membenarkan kegiatan tersebut.
“Iya benar, tim Satgas PKH melakukan pemasangan plang larangan di area bekas tambang. Kami hanya melakukan back up pengamanan selama kegiatan berlangsung,” ujarnya kepada wartawan, Senin (20/10/2025).
Namun di balik penertiban itu, muncul kembali bayang-bayang nama besar yang tak asing di dunia tambang Sulawesi Tenggara — Haliem Hoentoro, sosok yang selama ini dikenal sebagai pemain lama di bisnis nikel dan kerap terseret kasus hukum.
Berdasarkan dokumen resmi, jajaran pimpinan PT PDP terdiri atas, Prawirayudha Haliem (Komisaris), Sulianie Angga Widjaja Haliem (Komisaris Utama), Adi Haliem (Direktur), dan Haliem Hoentoro (Direktur Utama). Nama terakhir bukan orang baru.
Haliem Hoentoro sebelumnya telah terseret kasus pengangkutan ilegal ore nikel menggunakan dokumen fiktif milik PT Alam Mitra Indah Nugraha (AMIN) melalui dermaga pribadi yang diduga terminal khusus milik PT Kurnia Mining Resources (KMR) — perusahaan yang juga dipimpinnya.
Berdasarkan hasil audit BPKP Perwakilan Sultra, kerugian negara akibat praktik ilegal tersebut mencapai Rp233 miliar. Namun yang jadi sorotan, jaringan bisnis keluarga Haliem masih bebas beroperasi di sektor tambang meski pucuknya tengah diseret ke pengadilan.
Langkah Satgas PKH memasang plang larangan di bekas tambang PT PDP patut diapresiasi, tetapi publik menilai penegakan hukum tidak boleh berhenti di simbolisasi plang semata.
Sudah terlalu lama praktik perampasan kawasan hutan dan eksploitasi tambang ilegal di Sultra dilindungi oleh “pagar besi kekuasaan dan relasi bisnis elit”.
Apalagi, jaringan perusahaan yang terhubung dengan nama Haliem disebut masih memiliki akses ke pelabuhan-pelabuhan ekspor ore nikel di Konawe, Kolaka, hingga Kolaka Utara.
“Pemasangan plang Satgas hanyalah langkah awal. Jika tidak ada tindak lanjut hukum, ini akan menjadi drama rutin tahunan papan larangan dipasang, tapi alat berat tetap bekerja di balik bukit,” ujar salah satu aktivis lingkungan di Kolaka Utara yang enggan disebut namanya.
Editor Redaksi











