KENDARI, rubriksatu.com – Skandal pelanggaran izin kembali mencoreng wajah industri pertambangan Sulawesi Tenggara. Kali ini, sorotan publik mengarah ke PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS), perusahaan tambang yang beroperasi di Kabupaten Bombana.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.1345/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2022, PT TMS tercatat sebagai salah satu dari 140 perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin kehutanan sah.
Ironisnya, perusahaan ini justru tercatat menguasai 214,27 hektare area terbuka di dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Atas pelanggaran tersebut, PT TMS wajib membayar denda administratif berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai ketentuan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Keputusan yang ditandatangani Plt. Kepala Biro Hukum Kementerian LHK, Maman Kusnandar, menetapkan tenggat penyelesaian kewajiban hingga 2 November 2023. Jika tak dipenuhi, ancaman pencabutan izin usaha siap dijatuhkan.
Namun hingga kini, publik tak tahu pasti apakah PT TMS sudah membayar denda tersebut. Pihak manajemen bungkam dan enggan memberikan klarifikasi meski kasus ini telah menjadi perhatian publik.
Satgas Khusus Dikerahkan, tapi Penambang Nakal Masih Beroperasi
Pemerintah pusat bahkan telah membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan untuk menindak tegas pelanggaran kehutanan. Namun faktanya, PT TMS dan perusahaan-perusahaan tambang bermasalah lainnya masih bebas beroperasi.
Data Dinas ESDM Sultra tahun 2025 menunjukkan perusahaan terafiliasi PT TMS, yakni PT Indonusa, bahkan mendapat kuota RKAB sebesar 2,15 juta metrik ton.
Pengamat lingkungan menilai situasi ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan indikasi “kebal hukum” yang dinikmati perusahaan tambang besar.
“Kalau denda administratif dan ancaman pencabutan izin hanya jadi formalitas di atas kertas, maka jangan heran jika kerusakan hutan terus terjadi tanpa henti,” ujar salah satu aktivis lingkungan di Kendari.
Laporan Redaksi