KONUT, rubriksatu.com – Aroma pembiaran terhadap praktik tambang yang mengancam kawasan konservasi laut di Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara, semakin tercium menyengat.
Fakta terbaru, 13 perusahaan tambang, termasuk PT Adhi Kartiko Pratama (AKP) dan PT Indrabakti Mustika (IBM), diketahui belum mengantongi izin lintas kawasan konservasi Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Pulau Labengki.
Padahal, izin ini wajib bagi setiap perusahaan yang beraktivitas di sekitar atau melintasi kawasan konservasi laut. Tanpa izin, setiap pergerakan ore nikel melalui jalur ini ilegal dan berpotensi merusak ekosistem yang selama ini menjadi kebanggaan Sultra.
Ironisnya, meski BKSDA Sultra telah melayangkan surat resmi meminta kerja sama dalam bentuk Perjanjian Kerja Sama (PKS), tak ada satu pun dari 13 perusahaan itu yang merespons.
“Kita sudah bersurat, tapi tidak ada respon sama sekali. Kami akan kirim surat lagi, dan kalau tetap tidak diindahkan, akan kami laporkan ke Gakkum Kemenhut,” tegas Kepala BKSDA Sultra, Sabtu (26/7/2025).
Kondisi ini memunculkan tanda tanya besar: Mengapa perusahaan-perusahaan ini tetap bebas beroperasi tanpa izin lengkap? Di mana fungsi pengawasan dan penegakan hukum.
Menurut data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, PT AKP memegang IUP Operasi Produksi seluas 1.975 hektare hingga tahun 2030. Sedangkan PT IBM menguasai 576 hektare hingga 2034. Keduanya masuk daftar hitam perusahaan yang belum memiliki izin lintas kawasan konservasi TWAL Labengki.
Lebih parah lagi, aktivitas tambang mereka diduga memanfaatkan jalur laut yang berada dekat kawasan konservasi tanpa kontribusi nyata terhadap pelestarian lingkungan laut.
Kepala Seksi Wilayah II BKSDA Sultra, Prihanto, menegaskan bahwa izin lintas tetap wajib meski perusahaan mengklaim tidak melintasi kawasan konservasi secara langsung.
“Mau lewat atau tidak, kalau jetty dekat kawasan konservasi tetap wajib ada izin. Kalau nanti kedapatan melintas tanpa izin, kami akan rekomendasikan pencabutan IUP,” ujarnya.
Tanpa pengaturan dan pengawasan ketat, ancaman terhadap terumbu karang, biota laut, dan keberlanjutan ekosistem TWAL Labengki sangat besar. Padahal, izin lintas kawasan konservasi tak hanya soal legalitas, tapi juga memuat kewajiban moral dan ekologis seperti, pemberdayaan masyarakat pesisir lingkar tambang, pembersihan pantai di wilayah konservasi, transplantasi terumbu karang dan rehabilitasi laut dan patroli pengawasan bersama BKSDA.
Tanpa izin, seluruh kewajiban ini tak berjalan, dan kerusakan laut bisa menjadi bencana ekologis jangka panjang.
Jika BKSDA Sultra dan aparat penegak hukum hanya berhenti di surat peringatan, publik akan menilai bahwa ada permainan pembiaran di balik praktik tambang yang berpotensi merusak Labengki.
Pemerintah pusat, khususnya Kementerian LHK dan Kementerian ESDM, harus turun tangan. Pencabutan IUP bagi perusahaan yang membandel bukan sekadar opsi, tapi keharusan demi menyelamatkan Labengki dari kehancuran.
Labengki bukan hanya aset wisata, tapi warisan alam yang tak ternilai harganya. Membiarkan tambang tanpa izin merajalela sama saja dengan menggadaikan masa depan ekosistem laut demi keuntungan segelintir korpora.