KENDARI, rubriksatu.com – Penegakan hukum di Sulawesi Tenggara kembali menuai sorotan tajam. Kali ini, publik digemparkan oleh kabar keistimewaan yang diterima Andi Ardiansyah, keponakan Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka, yang divonis korupsi tambang namun kini disebut sudah mengantongi hak asimilasi alias bisa bekerja di luar penjara hanya setahun setelah dijebloskan ke balik jeruji.
Andi, yang menjabat Direktur PT Kabaena Kromit Pratama (KKP), terbukti bersalah menggunakan dokumen RKAB PT KKP untuk menampung hasil tambang PT Lawu Agung Mining (LAM) di Blok Mandiodo, Konawe Utara. Dalam persidangan Mei 2024, ia dihukum 4 tahun penjara, didenda Rp500 juta, dan wajib mengganti kerugian negara senilai Rp45 miliar.
Namun, belum genap setahun sejak putusan, publik dikejutkan dengan status asimilasinya yang memungkinkan ia bekerja di luar penjara. Meski belum direkrut oleh pihak ketiga, sinyal “lampu hijau” atas kebebasan terbatas ini dianggap sebagai perlakuan istimewa yang mencederai rasa keadilan.
Menurut Kepala Kanwil Ditjen PAS Sultra, Sulardi, pemberian asimilasi merujuk pada Permenkumham No. 7 Tahun 2022.
“Jika narapidana sudah jalani setengah masa hukuman dan penuhi syarat administratif, mereka bisa asimilasi. Andi sudah keluar SK-nya dari rutan,” ujar Sulardi, Rabu (29/5/2025).
Namun pernyataan itu justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Apakah seorang narapidana korupsi dengan kerugian negara puluhan miliar rupiah pantas mendapat keringanan semudah itu? Apalagi, hubungan kekeluargaan Andi Ardiansyah dengan elite politik—baik gubernur maupun Ketua Gerindra Sultra—menambah dugaan publik akan adanya diskon hukum bertarif dinasti.
Tak hanya Ardiansyah, nama La Ode Gomberto, politikus Gerindra yang terjerat kasus korupsi dana PEN bersama eks Bupati Muna LM Rusman Emba, juga disebut-sebut menerima perlakuan serupa.
Sulardi membantah adanya diskriminasi, namun sulit menepis kesan bahwa hukum di Sulawesi Tenggara bak panggung pertunjukan—di mana yang dekat kekuasaan mendapat jalur cepat keluar jeruji.
“Semua napi diperlakukan sama,” kata Sulardi. Namun publik sepertinya tak lagi percaya.
Program asimilasi memang legal. Namun dalam praktiknya, pemberian “kebebasan terbatas” kepada napi korupsi kelas kakap yang memiliki koneksi politik, tanpa transparansi dan pengawasan ketat, hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum.
Kini, masyarakat bertanya: Apakah penjara hanya untuk rakyat biasa? Atau ada lorong khusus tempat koruptor berdasi bisa “liburan” atas nama regulasi?
Laporan Redaksi