Kisah Perjuangan Kakek Asmara “Melawan” PT GMS: Berbaring di Jalan demi Mempertahankan Hak atas Tanah 

Advertisements

KONSEL, rubriksatu.com – Di usia 70 tahun, Asmara menunjukkan keberanian luar biasa demi mempertahankan hak atas tanah keluarganya. Dengan tubuh renta, ia nekat berbaring di bawah truk besar yang sedang beroperasi di lahan sengketa di Desa Lawisata, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara.

Aksi heroiknya menjadi simbol perlawanan rakyat kecil melawan perusahaan tambang besar, CV Nusantara Daya Jaya (NDJ) dan PT Gerbang Multi Sejahtera (GMS).

Pada 24 Januari 2025, Asmara memutuskan untuk menghadang kendaraan berat milik perusahaan tambang tersebut. Tindakan itu merupakan bentuk protes terhadap aktivitas pertambangan ilegal di lahan seluas 9 hektare milik istrinya, Sunaya. Padahal, tanah tersebut telah dimenangkan Sunaya dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Andoolo pada Desember 2024.

Masalah bermula ketika seorang warga bernama Kumbolan mengklaim kepemilikan tanah melalui Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan pada 2024. Di sisi lain, Sunaya telah memiliki SKT yang sah sejak 2010, lengkap dengan dokumen pendukung, termasuk bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) selama bertahun-tahun.

Kuasa hukum Sunaya, Fahrial Ansar, menjelaskan bahwa lahan tersebut awalnya dikelola oleh ayah Kumbolan pada 1985 sebelum dijual ke pihak lain. Lahan itu kemudian dibeli Sunaya pada 2010. “Kami memiliki dokumen resmi dan saksi yang mendukung kepemilikan klien kami. Putusan PN Andoolo juga telah memperkuat legalitas Sunaya atas lahan ini,” ujarnya.

Advertisements

Namun, meskipun keputusan pengadilan telah memenangkan Sunaya, CV NDJ dan PT GMS tetap melanjutkan aktivitas pertambangan di lahan tersebut.

Setelah putusan PN Andoolo, kedua belah pihak sempat menandatangani kesepakatan bermaterai untuk menghentikan sementara aktivitas tambang hingga sengketa selesai secara hukum. Kesepakatan itu disaksikan oleh Kapolsek Laonti dan Babinsa setempat.

Namun, pada 26 Januari 2025, CV NDJ mengingkari kesepakatan tersebut dan kembali melakukan aktivitas produksi.

Tidak ingin hak keluarganya dirampas, Asmara berjuang dengan caranya sendiri. Ia menghadang kendaraan berat, bahkan berbaring di tanah untuk menghentikan operasi perusahaan tambang. Di lokasi sengketa, Asmara juga memasang tanda kepemilikan lahan yang mencantumkan salinan putusan PN Andoolo nomor: 17/PDT.G/2024/PN ADL.

“Saya tidak akan membiarkan perusahaan ini terus merampas hak kami. Lahan ini adalah milik istri saya, dan kami telah memenangkannya di pengadilan,” tegas Asmara dengan suara penuh emosi.

Fahrial Ansar menyebut bahwa tindakan perusahaan tambang yang mengabaikan putusan pengadilan adalah bentuk arogansi. “Majelis hakim sudah menyatakan bahwa aktivitas PT GMS dan CV NDJ adalah perbuatan melawan hukum. Namun, perusahaan tetap beroperasi seolah-olah hukum tidak berlaku bagi mereka,” katanya.

Asmara dan keluarganya kini memohon bantuan pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo Subianto, untuk turun tangan menyelesaikan kasus ini. Mereka meminta pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT GMS serta penegakan hukum terhadap perusahaan yang merampas hak rakyat kecil.

“Kami berharap Presiden Prabowo dapat membantu kami. Tolong cabut izin mereka dan hentikan perampasan lahan kami,” pinta Asmara dengan haru.

Kisah Asmara bukan sekadar tentang mempertahankan sepetak tanah, tetapi juga menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap ketidakadilan. Aksinya menginspirasi banyak pihak untuk lebih peduli terhadap nasib masyarakat kecil yang kerap menjadi korban dalam konflik lahan dengan perusahaan besar.

Hingga kini, perjuangan Asmara terus berlanjut. Ia menunjukkan bahwa meskipun lemah secara fisik, semangat untuk menegakkan keadilan tidak pernah padam. Kakek Asmara telah membuktikan bahwa keberanian dan keteguhan hati adalah senjata paling ampuh dalam menghadapi ketidakadilan.

Laporan Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *