JAKARTA, rubriksatu.com – Konsorsium Aktivis Kajian Hukum Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Rabu (17/12/2025), mendesak penegak hukum mengusut tuntas dugaan praktik penjualan bijih nikel ilegal yang diduga melibatkan PT Dharma Bumi Kolaka (DBK) serta mantan Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Kelas III Pomalaa pada tahun 2022.
Aksi tersebut merupakan bentuk tekanan publik sekaligus kontrol sosial terhadap Kejaksaan Agung agar tidak menutup mata terhadap dugaan kejahatan serius di sektor pertambangan dan kepelabuhanan yang berpotensi merugikan negara dalam skala besar.
Dalam orasinya, massa menilai terdapat indikasi kuat penyimpangan sistemik mulai dari proses produksi, pengangkutan, hingga pengapalan bijih nikel yang diduga tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Berdasarkan hasil investigasi lapangan dan penelusuran dokumen, Konsorsium Aktivis Kajian Hukum Indonesia mengungkapkan bahwa PT Dharma Bumi Kolaka tercatat memiliki persetujuan RKAB Tahun 2022 dengan kuota produksi dan penjualan mencapai 650.000 ton bijih nikel. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan minim bahkan nyaris nihilnya aktivitas produksi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut.
Kondisi ini memunculkan dugaan kuat bahwa bijih nikel yang dijual dan dikapalkan bukan berasal dari Wilayah IUP PT DBK, melainkan dari sumber lain yang tidak sah secara hukum.
Dugaan tersebut diperkuat oleh temuan tidak aktifnya jalur hauling di lokasi IUP, serta adanya proses pemuatan dan pengapalan bijih nikel melalui terminal khusus yang secara regulasi diduga tidak diperuntukkan bagi PT DBK.
Tak hanya itu, massa aksi juga menyoroti penerbitan Surat Izin Berlayar (SIB) oleh KUPP Kelas III Kolaka pada tahun 2022. Penerbitan dokumen tersebut diduga dilakukan tanpa verifikasi ketat terhadap keabsahan asal barang, sehingga membuka dugaan adanya penyimpangan prosedur yang berpotensi mengarah pada praktik koruptif.
Penanggung jawab aksi, Nabil Dean, menegaskan bahwa dugaan penjualan bijih nikel ilegal ini tidak bisa direduksi sebagai persoalan administratif semata.
“Jika benar bijih nikel yang dijual tidak berasal dari WIUP PT DBK, maka ini adalah dugaan kejahatan serius. Negara berpotensi dirugikan dalam jumlah besar, dan ini harus diusut sampai ke akar-akarnya,” tegas Nabil.
Ia menyebut rangkaian peristiwa tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan, bahkan membuka ruang dugaan keterlibatan oknum yang memanfaatkan celah regulasi untuk melancarkan praktik ilegal.
“Kami melihat pola yang patut diduga sistematis: produksi di IUP minim, hauling tidak aktif, tapi pengapalan tetap berjalan. Ini bukan kebetulan. Semua pihak yang terlibat harus diperiksa tanpa kecuali,” ujarnya.
Aksi unjuk rasa sempat berlangsung tegang ketika massa meluapkan kekecewaan atas lambannya penanganan berbagai kasus dugaan kejahatan pertambangan. Adu argumen dengan aparat pengamanan sempat terjadi, namun situasi akhirnya kembali kondusif.
Nabil menegaskan aksi tersebut bukan sekadar seremonial, melainkan bagian dari komitmen berkelanjutan untuk mengawal penegakan hukum.
“Kami tidak akan berhenti. Aksi, laporan, dan pengawalan akan terus kami lakukan sampai Kejaksaan Agung benar-benar bertindak tegas. Negara tidak boleh kalah oleh mafia tambang,” tegasnya.
Ia juga memastikan pihaknya akan terus menyerahkan data dan temuan tambahan kepada aparat penegak hukum guna mendorong proses penyelidikan yang transparan dan berkeadilan.
Hingga berita ini diterbitkan, PT Dharma Bumi Kolaka (DBK) maupun mantan Kepala KUPP Kelas III Pomalaa tahun 2022 belum memberikan klarifikasi resmi terkait dugaan yang disampaikan oleh massa aksi.
Editor Redaksi











