BOMBANA, rubriksatu.com – Dampak pelanggaran hukum yang dilakukan manajemen PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) kini berbalik menghantam buruhnya sendiri.
Perusahaan tambang nikel itu kembali merumahkan sejumlah karyawan setelah aktivitas operasional lumpuh pasca dijatuhi sanksi administratif fantastis Rp2 triliun oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).
Sanksi tersebut dijatuhkan karena PT TMS terbukti menambang ore nikel secara ilegal di kawasan hutan tanpa mengantongi izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH). Alih-alih bertanggung jawab penuh atas pelanggaran serius itu, perusahaan justru menjadikan pekerja sebagai pihak yang paling terdampak.
Kebijakan merumahkan karyawan tertuang dalam surat resmi bernomor 003/HR-TMS/XII/2025 tentang Libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) serta Perumahan Karyawan, yang ditandatangani Manager HRD PT TMS, Gita Deviany Putri.
Dalam surat tersebut disebutkan, seluruh aktivitas operasional perusahaan dihentikan mulai 20 Desember 2025. Selanjutnya, karena belum ada kepastian kelanjutan operasi pada 2026, seluruh karyawan resmi dirumahkan sejak 2 Januari 2026.
Meski manajemen menyatakan karyawan tetap menerima 80 persen upah pokok, kebijakan ini tetap dinilai sebagai bentuk pemindahan beban kesalahan korporasi kepada pekerja. Ironisnya, para karyawan juga diwajibkan menandatangani surat pernyataan perumahan yang disiapkan HRD, tanpa kejelasan jaminan keberlanjutan kerja.
Seorang karyawan PT TMS yang enggan disebutkan namanya membenarkan kondisi tersebut. Ia mengungkapkan, selain sanksi hukum, perusahaan juga mengalami krisis cadangan nikel.
“Cadangan di wilayah IUP sudah sangat menipis, bahkan dibilang habis. Sisa lahan justru berada di kawasan hutan lindung yang disegel Satgas PKH,” ungkapnya.
Situasi PT TMS kian pelik karena 172 hektare lahan IUP di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara yang belum digarap, berada di kawasan hutan lindung dan telah dipasangi plang penyegelan oleh Satgas PKH. Artinya, perusahaan praktis kehilangan ruang legal untuk beroperasi.
Namun alih-alih menghentikan ambisi tambang, muncul kabar bahwa PT TMS justru berencana mengajukan perubahan status kawasan hutan lindung agar area yang disegel bisa kembali ditambang pada 2026.
“Informasinya begitu. Setelah urusan denda selesai, baru perusahaan mau lanjut kegiatan. Sekarang fokus bayar denda dulu,” ujar karyawan tersebut.
Upaya mengubah status kawasan hutan lindung dinilai sebagai akrobat hukum yang berpotensi mengorbankan lingkungan demi kepentingan bisnis, setelah sebelumnya perusahaan melanggar hukum secara terang-terangan.
Diketahui, Satgas PKH menjatuhkan denda administratif Rp2 triliun kepada PT TMS sebagai konsekuensi penambangan ilegal di kawasan hutan. Namun hingga kini, perusahaan baru membayar Rp500 miliar, atau seperempat dari total kewajiban.
Sementara itu, para buruh terpaksa menanggung ketidakpastian masa depan akibat kesalahan korporasi yang tidak mereka lakukan.
Editor Redaksi







