Monopoli Tenun Tabere Siwole Rugikan UMKM Konawe

KONAWE, rubriksatu.com – Dugaan praktik monopoli oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Konawe dalam produksi dan penjualan kain tenun bermotif Tabere Siwole kini menuai kritik keras.

Motif kearifan lokal Suku Tolaki yang diperkenalkan Bupati Konawe, Yusran Akbar, itu justru membuat para pelaku UMKM kesulitan memperoleh pasokan dan kehilangan ruang usaha.

Sejak awal masa jabatannya, Bupati Yusran memperkenalkan motif Tabere Siwole sebagai identitas baru daerah. Motif itu kini kerap digunakan pejabat Konawe dalam berbagai acara resmi.

Namun di balik popularitasnya, muncul dugaan bahwa Dekranasda Konawe menguasai penuh produksi dan distribusi Tabere Siwole, sehingga masyarakat maupun penjual kain tenun tidak leluasa mendapatkan atau menjual produk tersebut.

Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa kain Tabere Siwole hanya tersedia melalui Dekranasda Konawe atau Kantor PKK, sementara pelaku UMKM dilarang memproduksinya.

Seorang pedagang kain tenun di Unaaha, yang meminta identitasnya dirahasiakan, membenarkan adanya larangan tersebut.

“Tidak mau mereka kalau kita jual motif Tabere Siwole, dilarang,” ungkapnya.

Ia mengaku selama ini menjual berbagai motif lokal Tolaki, namun tidak bisa memperoleh stok Tabere Siwole.

Informasi adanya praktik pembatasan ini sampai ke telinga Anggota Komisi III DPRD Konawe, Abdul Ginal Sambari. Ia menilai kebijakan yang memberi hak eksklusif kepada Dekranasda telah menyimpang dari fungsi utamanya.

“Saya sudah dapat laporan masyarakat bahwa kain motif Tabere Siwole tidak boleh diproduksi atau dijual selain dari Dekranasda,” kata Ginal.

Menurut dia, Dekranasda bukanlah lembaga dagang, tetapi wadah untuk menaungi, memberdayakan, dan membuka peluang bagi pengrajin serta pelaku UMKM. Yang terjadi justru sebaliknya: UMKM dibatasi, akses produksi diblokir, dan pasar dikuasai satu lembaga.

Lebih jauh, Ginal menyoroti adanya dorongan agar motif Tabere Siwole diwajibkan menjadi bagian dari seragam sekolah, pakaian pegawai OPD, hingga perangkat desa.

“Kalau itu diwajibkan sementara produksinya dimonopoli Dekranasda, itu unsur pemaksaan. Otoriter,” tegasnya.

Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi merugikan pelaku usaha lokal dan menutup ruang kreativitas masyarakat.

“Ketika hanya satu organisasi yang boleh menangani dan yang lain dilarang, itu namanya monopoli. UMKM pasti dirugikan,” ujarnya.

DPRD Konawe melalui Komisi III berencana memanggil Dekranasda untuk meminta klarifikasi resmi, termasuk memeriksa dasar aturan dan dampaknya terhadap UMKM.

“Kita mendukung inovasi budaya, tetapi jangan sampai menghambat kreativitas dan penghidupan UMKM lain,” tutup Ginal.

Editor Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *