Oleh: Sukardi Muhtar
Dewan Pembina JMSI Sultra
KONAWE, rubriksatu.com – Di tengah gemuruh politik lokal yang kerap senyap namun menyimpan bara, kehadiran figur perempuan seperti Sarnina Yusrin Usbar (SYU) mulai menggoyang papan catur kekuasaan di Kabupaten Konawe.
Dia bukan hanya istri dari Yusrin Usbar, kakak kandung Bupati Konawe Yusran Akbar. Lebih dari itu, SYU kini muncul sebagai aktor politik potensial yang tengah mengatur langkahnya secara sistematis, pelan namun pasti.
Saat ini, SYU menjabat sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Konawe, sebuah posisi yang mungkin terlihat netral secara politik, namun menyimpan ruang strategis dalam membangun jejaring sosial, memperluas pengaruh, dan mengolah citra publik.
Melalui aktivitas kemanusiaan, SYU perlahan menanam simpul-simpul kekuatan. Kesan ini kian nyata saat ia sukses menggelar Kejuaraan Road Race berskala besar beberapa waktu lalu, bahkan memecahkan rekor jumlah peserta, sebuah langkah yang lebih politis daripada sekadar hobi otomotif.
Pertanyaannya: Apakah ini hanya bagian dari kerja kemanusiaan, atau awal dari desain politik jangka panjang?
Di berbagai warung kopi, nama SYU kini sering diperbincangkan. Spekulasi publik mengarah pada satu kemungkinan besar: apakah ia sedang dipersiapkan sebagai penerus kepemimpinan di Konawe? Atau sekadar cadangan politik keluarga besar bupati jika rencana menuju Pilgub Sultra untuk Yusran Akbar berjalan mulus?
Politik Dinasti atau Regenerasi Terkelola?
Konawe bukan daerah yang buta pada dinamika kekuasaan berbasis hubungan darah. Nama-nama besar sebelumnya juga tak jarang lahir dari orbit kekeluargaan. Maka kemunculan SYU dalam skenario politik bukanlah hal mengejutkan, melainkan bab baru dari sebuah pola lama yang tengah disusun ulang.
Namun, satu pertanyaan menggantung di langit Konawe: Apakah Bupati Yusran Akbar akan diam saja menyaksikan langkah kakak iparnya mencuri perhatian publik? Ataukah ini memang bagian dari strategi bersama dalam menjaga dinasti politik agar tetap bergulir?
Rumor yang beredar menyebut Yusran hanya akan menjabat satu periode dan segera disiapkan untuk bertarung di Pilkada Provinsi Sultra. Tapi rencana itu terdengar terlalu dini, mengingat ia belum genap setahun memimpin salah satu daerah strategis di Sulawesi Tenggara. Terlalu prematur untuk berpikir naik kelas, apalagi jika fondasi politik di Konawe sendiri belum sepenuhnya kokoh.
Di satu sisi, publik juga tahu bahwa Yusran Akbar tak akan mungkin frontal menghadang langkah politik kakak kandungnya sendiri. Politik keluarga memiliki garis batas yang tak tertulis, dan bisa menjadi bumerang jika salah langkah.
Syamsul Ibrahim, Kuda Hitam yang Tak Bisa Diabaikan
Namun percaturan politik Konawe bukan hanya tentang keluarga bupati. Masih ada Syamsul Ibrahim, Wakil Bupati Konawe, yang bisa menjadi batu sandungan serius. Ia bukan pemain kemarin sore. Dengan rekam jejak tiga periode di DPRD Provinsi Sultra dan kini menjabat sebagai orang nomor dua di Konawe, Syamsul bukan sekadar pelengkap administratif. Ia punya pengalaman, jaringan, dan modal politik yang cukup untuk melakukan “skak mati” dalam kontestasi Pilkada.
Lebih penting lagi, Syamsul dikenal sebagai sosok yang menjaga marwah birokrasi dan menjalankan perannya dengan kedisiplinan tinggi. Dalam kacamata publik, ia adalah representasi dari politisi teknokrat yang mulai langka: keras dalam prinsip, tenang dalam tindakan.
Menuju 2029: Politik Konawe Memanas Sejak Sekarang
Meski Pilkada Konawe masih jauh di depan, tapi percikan api politiknya sudah mulai terasa. Nama SYU yang awalnya hanya disebut-sebut dalam lingkaran terbatas, kini mulai menyita perhatian publik. Jika langkah-langkah SYU terus konsisten dan sistematis, bukan tak mungkin ia benar-benar menjadi kuda troya politik yang mengubah peta kekuasaan di Konawe.
Namun, politik tidak hanya soal strategi. Ia juga tentang momentum, kepercayaan publik, dan bagaimana setiap langkah diterjemahkan oleh rakyat. Apakah SYU akan tampil sebagai pemimpin masa depan atau hanya pion dalam permainan elite, waktu yang akan menjawab.
Yang pasti, catur kekuasaan di Konawe telah dimulai. Dan papan permainannya bukan lagi eksklusif milik kaum lelaki. Kini, seorang perempuan dengan basis kemanusiaan sedang mengatur langkah, dengan satu kemungkinan besar di benaknya: menjadi yang terpilih, bukan hanya yang disiapkan.










