KENDARI, rubriksatu.com — Dinamika perebutan kursi Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Sulawesi Tenggara makin panas. Bukan sekadar pertarungan politik, tapi telah menyeret aroma konflik kepentingan, rangkap jabatan, dan gurita bisnis tambang yang menguap dari dua nama besar di lingkaran beringin: Herry Asiku dan La Ode Darwin.
Agenda Musyawarah Daerah (Musda) Golkar Sultra yang sedianya digelar 26 Oktober 2025 tiba-tiba ditunda oleh DPP Golkar melalui Surat Keputusan B-809/DPP/GOLKAR/X/2025, tertanggal 23 Oktober 2025.
Penundaan mendadak ini memantik spekulasi liar di internal kader. Sumber internal menyebut, langkah itu diambil setelah Bupati Muna Barat, La Ode Darwin, resmi mendaftar sebagai calon ketua Golkar Sultra.
Publik menyoroti bahwa dua kandidat yang akan berebut kursi Ketua Golkar Sultra justru memiliki jejak kuat di dunia pertambangan nikel, sektor yang kini menjadi sorotan tajam karena maraknya praktik ilegal dan eksploitasi lingkungan.
Herry Asiku, politisi senior yang kini menjabat Wakil Ketua DPRD Sultra dan Ketua DPD Golkar aktif, diketahui tercatat sebagai komisaris di sedikitnya lima perusahaan tambang yang beroperasi di Konawe Utara dan sekitarnya (berdasarkan data resmi MODI ESDM).
Kelima perusahaan itu adalah, PT Apollo Nickel Indonesia (IUP 106 Ha, Konawe Utara, berlaku hingga 2031), PT Sinar Jaya Sultra Utama (SJSU) (IUP 301 Ha, Konawe Utara), PT Konut Jaya Mineral (IUP 732 Ha, Konawe Utara), PT Putra Konawe Utama (IUP 4.845 Ha, Konawe Utara) dan PT Konaweeha Makmur (tambang batu, Konawe)
Di sisi lain, La Ode Darwin, yang kini menjabat Bupati Muna Barat (2025–2030), juga tidak lepas dari bisnis yang sama. Ia pernah tercatat sebagai direktur di tiga perusahaan tambang nikel, diantaranya PT Arga Morini Indah (AMI) dan PT Arga Morini Indotama (Amindo) yang berada di Buton Tengah, dan PT Bakti Pertiwi Nusantara, di Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Rekam jejak ini membuat publik bertanya: Apakah Golkar Sultra kini dikuasai para pengusaha tambang.
Sejumlah aktivis dan kalangan mahasiswa mulai bersuara keras. Mereka menilai bahwa dua kandidat ini diduga merangkap jabatan sebagai penyelenggara negara sekaligus pelaku usaha aktif, sebuah pelanggaran etik serius dalam tata kelola pemerintahan.
“Golkar Sultra sedang dalam bahaya moral. Bagaimana publik bisa percaya pada partai yang dikuasai oleh pejabat-pebisnis tambang?” ujar seorang aktivis antikorupsi di Kendari, Jumat (24/10/2025).
Mereka juga menyoroti bahwa urusan perizinan dan pengawasan tambang berada langsung di bawah Kementerian ESDM, yang kini dipimpin oleh Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia — sosok yang baru-baru ini dinilai berkinerja terburuk dalam survei Celios.
Dalam survei Evaluasi Kinerja Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran yang dirilis Center of Economic and Law Studies (Celios), Bahlil memperoleh skor –1320 (publik) dan –151 (expert judgment), menjadi menteri dengan kinerja terendah di kabinet.
Sektor energi dinilai penuh konflik kepentingan, lemah pengawasan, dan minim transparansi. Kondisi ini memperkuat dugaan publik bahwa Golkar kini dikuasai oleh kepentingan tambang, bukan kepentingan rakyat.
Perebutan kursi Ketua Golkar Sultra kali ini tidak lagi sekadar kontestasi internal partai, melainkan pertarungan gengsi dua pejabat publik yang punya kepentingan ekonomi besar di sektor nikel.
Di satu sisi ada Herry Asiku, politisi kawakan dan pengusaha senior. Di sisi lain, La Ode Darwin, kepala daerah muda yang juga memiliki sejarah panjang di bisnis tambang. Dua-duanya mengantongi kekuasaan politik dan modal besar.
Namun publik menilai, siapapun yang terpilih, Golkar Sultra berpotensi kehilangan arah ideologis jika tidak mampu memutus ketergantungan dari kepentingan korporasi tambang.
“Partai seharusnya menjadi alat perjuangan rakyat, bukan alat bisnis. Kalau ketuanya saja pengusaha tambang, bagaimana Golkar bisa bersuara untuk rakyat kecil yang kehilangan tanah dan hutan karena tambang?” ujar aktivis mahasiswa Konawe.
Jika partai berlambang pohon beringin ini tak segera berbenah, publik khawatir Golkar Sultra akan terperosok dalam krisis kepercayaan dan kehilangan legitimasi moral di mata rakyat.
Musda yang seharusnya menjadi momentum konsolidasi justru berubah menjadi ajang benturan kepentingan pribadi dan korporasi.
Kini, publik menanti, apakah Golkar Sultra akan tetap jadi rumah rakyat, atau sekadar naungan elit tambang yang membungkus ambisi politik dengan warna kuning emas nikel.
Editor Redaksi













