KONAWE, rubriksatu.com – Ironi pengelolaan tambang di Sulawesi Tenggara kembali tersingkap. Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) Halilintar kembali menindak perusahaan tambang yang kedapatan membabat kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Kali ini, giliran PT Tambang Matarape Sejahtera (TMS) perusahaan nikel yang beroperasi di Kabupaten Konawe Utara (Konut) yang disegel secara resmi oleh Satgas.
Di lokasi tambang, terpampang plang besar bertuliskan “Areal Pertambangan PT Tambang Matarape Sejahtera Seluas 126,69 Hektare. Dalam Penguasaan Pemerintah Republik Indonesia. Cq. Satgas Penertiban Kawasan Hutan. Dilarang Memperjualbelikan dan Menguasai Tanpa Izin Satgas Penertiban Kawasan Hutan.” Dengan penyegelan ini, seluruh aktivitas PT TMS dinyatakan berhenti total.
PT Tambang Matarape Sejahtera sejatinya bukan pemain kecil. Perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) ini berkantor di Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dan memiliki struktur direksi dan komisaris yang “gemuk”.
Tercatat, Simon Lambey menjabat Direktur Utama, sementara Budi Michael Oloan duduk sebagai Komisaris Utama. Adapun jajaran komisaris lainnya yakni Paulus Sumariyono, Basruddin, dan Sri Rejeki Elisa Putri. Sedangkan posisi direktur diisi Alfredo Hadisaputra, La Ode Muh. Basyirun, dan Dendi Dwitiandi.
Yang lebih mengejutkan, struktur kepemilikan saham PT TMS memperlihatkan keterlibatan sejumlah entitas besar, PT Tambang Nikel Permai 49%, Perumda Utama Sultra 4%, Perumda Konasara (Konawe Utara) 6%, dan PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk 41%
Artinya, BUMN raksasa sekelas ANTAM ikut memiliki saham di perusahaan yang kini disegel karena beroperasi di kawasan hutan tanpa izin.
Penertiban lahan seluas 126,69 hektare oleh Satgas Halilintar menjadi bukti bahwa praktik tambang ilegal di Sulawesi Tenggara masih marak dan melibatkan perusahaan-perusahaan besar.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian ESDM, Rilke Jeffri Huwae, menegaskan bahwa langkah tegas ini sejalan dengan arahan Menteri ESDM untuk memperkuat pengawasan.
“Kami terus memperkuat pengawasan dan penindakan pada praktik pertambangan ilegal. Tidak boleh ada lagi perusahaan yang menambang tanpa izin di kawasan hutan,” tegas Jeffri di Jakarta.
Namun, di balik pernyataan itu, publik justru mempertanyakan: bagaimana mungkin perusahaan besar dengan kepemilikan BUMN dan Perumda bisa bebas menambang tanpa IPPKH selama ini?
Hal ini memperlihatkan adanya kebocoran dalam sistem perizinan dan lemahnya kontrol pemerintah daerah serta aparat penegak hukum.
Kasus PT TMS hanya satu dari sekian banyak contoh rusaknya tata kelola pertambangan di Sulawesi Tenggara.
Sultra yang digadang-gadang sebagai “jantung nikel Indonesia” kini berubah menjadi ladang eksploitasi besar-besaran tanpa tanggung jawab lingkungan.
Satgas Halilintar boleh menyegel, tapi tanpa penegakan hukum lanjutan, penyegelan hanya akan jadi seremoni belaka.
Apalagi, banyak perusahaan yang sebelumnya disegel justru kembali beroperasi secara diam-diam dengan dukungan oknum aparat dan pejabat daerah.
Editor Redaksi