KENDARI, rubriksatu.com – Dugaan pelanggaran serius terhadap kewajiban lingkungan kembali mencoreng wajah industri tambang di Sulawesi Tenggara.
Kali ini, tertuju pada PT Pandu Urane Perkasa (PUP), perusahaan yang disebut-sebut milik mantan Kapolri Jenderal (Purn) Idham Azis, karena diduga mengabaikan kewajiban reklamasi dan pascatambang selama beroperasi di wilayah Kabupaten Konawe Selatan (Konsel).
Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dengan tujuan tertentu atas pengelolaan perizinan pertambangan mineral, batubara, dan batuan Nomor: 13/LHP/XVII/05/2024, tertanggal 20 Mei 2024, PT PUP belum menempatkan dana Jaminan Reklamasi (Jamrek) dan Pascatambang sebagaimana diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
Direktur Sultra Mining Watch (SMW), Ikzan, menegaskan bahwa pelanggaran ini bukan perkara administratif semata, melainkan bentuk pengabaian tanggung jawab lingkungan yang berdampak langsung terhadap kerusakan ekosistem di wilayah tambang.
“Temuan BPK RI sudah jelas: PT PUP belum menempatkan Jamrek dan Pascatambang. Bahkan, perusahaan ini diduga belum memiliki PPKH (Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan). Ini pelanggaran berat,” tegas Ikzan, Jumat (17/10/2025).
Ia menjelaskan, reklamasi dan pascatambang merupakan kewajiban mutlak setiap perusahaan tambang untuk memulihkan kerusakan lingkungan akibat aktivitas eksploitasi.
Namun, fakta bahwa perusahaan besar seperti PT PUP mengabaikan kewajiban ini memperlihatkan adanya pembiaran dan lemahnya pengawasan pemerintah daerah maupun pusat.
“Ini bukan sekadar lalai, tapi bentuk ketidakpatuhan yang merusak. Ketika hutan dan tanah rusak, masyarakat sekitar yang menanggung akibatnya — bukan perusahaan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ikzan menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan PP Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang secara tegas mewajibkan setiap perusahaan tambang menempatkan dana jaminan reklamasi sebelum melakukan kegiatan produksi.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi administratif, pembekuan izin, hingga pidana.
“Kalau perusahaan ini bukan milik orang kuat, pasti sudah lama diperiksa. Tapi karena pemiliknya mantan pejabat tinggi, seolah hukum tumpul ke atas,” sindir Ikzan dengan nada tajam.
Ia mendesak Kejaksaan Agung RI yang saat ini tengah berada di Sultra untuk memeriksa Direktur dan pemilik PT PUP, serta menelusuri potensi kerugian negara dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang tanpa jaminan reklamasi tersebut.
“Kami minta Kejagung bertindak tegas. Jangan sampai hukum hanya tajam ke rakyat kecil tapi tumpul saat berhadapan dengan bekas pejabat tinggi negara,” tegasnya.
Kasus PT PUP menjadi gambaran nyata bagaimana ketimpangan hukum dan lemahnya komitmen lingkungan hidup terus terjadi di sektor pertambangan.
Jika dibiarkan, praktik seperti ini akan memperparah kerusakan ekologis di Konawe Selatan, memperlebar kesenjangan sosial, dan mempermalukan komitmen pemerintah terhadap pertambangan berkelanjutan.
Editor Redaksi