Ketua Golkar Sultra Herry Asiku Rangkap Jabatan Komisaris di Empat Perusahaan Tambang, Pengawasan DPRD Dipertanyakan

KENDARI, rubriksatu.com – Aroma konflik kepentingan menyeruak dari tubuh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara. Ketua DPD Partai Golkar Sultra yang juga anggota DPRD, H. Herry Asiku, SE., tercatat merangkap jabatan sebagai komisaris di empat perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Sultra.

Data dari Mineral One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM menegaskan nama Herry Asiku terdaftar di empat perusahaan PT Sinar Jaya Sultra Utama (SJSU), PT Konut Jaya Mineral (KJM), PT Putra Konawe Utama (PKU), dan PT Konaweeha Makmur (KM).

Keempat perusahaan itu bukan perusahaan kecil semuanya bergerak di sektor pertambangan nikel dan batuan, dengan izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara yang luasnya mencapai ribuan hektare.

Perlu diketahui, PT Sinar Jaya Sultra Utama (SJSU) memiliki IUP operasi produksi nikel seluas 301 hektare, kemudian PT Konut Jaya Mineral (KJM) mengantongi IUP nikel seluas 732,2 hektare.

Selanjutnya, PT Putra Konawe Utama (PKU) memiliki wilayah tambang mencapai 4.845 hektare dan PT Konaweeha Makmur (KM) mengantongi dua IUP tambang batu di Kabupaten Konawe.

Rangkap jabatan seorang legislator di perusahaan tambang jelas menampar wajah etika publik. Sebagai penyelenggara negara yang bertugas mengawasi jalannya kebijakan, termasuk di sektor pertambangan, keberadaan anggota DPR di struktur korporasi tambang menimbulkan konflik kepentingan serius.

Pertanyaan pun mencuat. Bagaimana mungkin pengawas tambang justru duduk sebagai komisaris perusahaan tambang.

Kondisi ini berpotensi melemahkan fungsi pengawasan dan mencederai integritas lembaga legislatif yang seharusnya menjadi corong kepentingan rakyat, bukan kepentingan korporasi.

Direktur Pascasarjana Hukum Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra), LM Bariun, menilai rangkap jabatan seperti itu tidak dapat dibenarkan, baik secara hukum maupun etika pemerintahan.

“Larangan itu sudah jelas. Pejabat publik, termasuk anggota DPR, tidak elok jika merangkap jabatan di perusahaan, apalagi yang berkaitan dengan sumber daya alam. Itu bentuk nyata konflik kepentingan,” tegas Bariun.

Ia menambahkan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dengan tegas melarang penyelenggara pemerintahan untuk ikut serta dalam bisnis yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara maupun sumber daya alam.

“Larangan itu dibuat supaya tidak ada konflik interest. Secara moral juga, harusnya mereka menjaga integritas agar tidak mencampur kepentingan publik dengan bisnis pribadi,” lanjut Bariun.

Menurutnya, pelanggaran terhadap prinsip moral dan integritas pejabat publik justru menjadi pintu masuk bagi melemahnya penegakan hukum dan meningkatnya praktik penyalahgunaan wewenang.

Hingga berita ini diterbitkan, H. Herry Asiku belum memberikan klarifikasi atas temuan ini. Pesan konfirmasi yang dikirimkan melalui WhatsApp belum mendapat tanggapan.

Editor Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *