Mafia Peradilan Dibongkar, Oknum Hakim PN Unaaha Diduga Minta Fee Rp2 Miliar

KONAWE, rubriksatu.com – Dugaan praktik mafia peradilan kembali mencoreng institusi peradilan di Sulawesi Tenggara. Sengketa lahan antara Ainun Indarsih melawan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) kian menunjukkan adanya permainan kotor di balik meja hijau.

Padahal, sengketa lahan seluas 200 x 400 meter di Desa Polara, Kecamatan Morosi, telah dimenangkan Ainun Indarsih melalui enam putusan pengadilan. Putusan tersebut menegaskan Ainun sebagai pemilik sah, sementara SHGB milik PT OSS telah dinyatakan cacat dan bahkan ditolak pada tingkat Peninjauan Kembali (PK).

Namun, alih-alih melaksanakan eksekusi sesuai hukum, Pengadilan Negeri (PN) Unaaha justru menunda eksekusi dengan dalih adanya gugatan perlawanan dari PT OSS. Keputusan ini dinilai janggal, sebab putusan serta merta semestinya tetap dilaksanakan meski ada perlawanan.

Kecurigaan publik semakin kuat setelah Erytnanda Akbar, suami Ainun Indarsih, membeberkan adanya dugaan pertemuan gelap dengan oknum hakim PN Unaaha berinisial YAP. Dalam pertemuan itu, YAP diduga terang-terangan meminta fee Rp2 miliar sebagai syarat “mengawal” kasus dan menurunkan harga ganti rugi lahan yang diminta Ainun dari Rp90 miliar menjadi Rp30 miliar.

Bahkan, YAP disebut mengklaim perintah Ketua PN Unaaha sudah jelas: eksekusi akan dibatalkan dan PT OSS harus dimenangkan, apapun alasannya. Pertemuan demi pertemuan pun berlangsung di luar pengadilan, penuh indikasi transaksi gelap yang menodai independensi hakim.

“Ini bukan sekadar pelanggaran kode etik, tapi dugaan praktik mafia hukum yang menghina rasa keadilan rakyat,” tegas Akbar.

Lebih parah lagi, YAP disebut membawa nama pejabat Pengadilan Tinggi Sultra hingga Mahkamah Agung untuk meyakinkan bahwa kekalahan Ainun hanya soal waktu. Akbar menolak melanjutkan “lobi kotor” itu karena menilai telah diarahkan pada praktik suap.

Kuasa hukum Ainun, Andri Darmawan, resmi melaporkan Ketua PN Unaaha, Ketua Majelis Hakim, serta dua hakim anggota ke Komisi Yudisial (KY) RI. Bukti berupa rekaman suara, percakapan, hingga dokumentasi pertemuan telah diserahkan.

“Mediasi di luar pengadilan oleh hakim yang menangani perkara adalah pelanggaran berat. Itu bukan hanya cacat prosedur, tapi pelecehan terhadap prinsip peradilan yang bersih,” tegas Andri.

Saat ini, laporan telah ditangani KY RI. Empat hakim, termasuk Ketua PN Unaaha, sudah diperiksa langsung oleh Komisioner KY. Namun, publik menunggu langkah lebih tegas: apakah hakim yang diduga makelar kasus ini benar-benar akan dijatuhi sanksi, atau praktik mafia hukum kembali berlindung di balik toga.

Hingga berita ini dipublikasikan, oknum hakim YAP belum memberikan tanggapan meski dihubungi berkali-kali melalui telepon dan pesan WhatsApp.

Editor Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *