KONAWE, rubriksatu.com – Pernyataan Humas sekaligus Hakim Pengadilan Negeri (PN) Unaaha, Andi Ahsanal Zamakhsyari, SH, yang menegaskan lembaganya terbuka terhadap kritik publik, dinilai tidak lebih dari alibi untuk meredam sorotan publik.
Di tengah derasnya dugaan keterlibatan oknum hakim dalam sengketa lahan PT OSS, publik justru menanti tindakan nyata, bukan sekadar jargon “menghargai proses hukum” yang kerap dijadikan tameng.
“Kami tidak menutup diri. Kalau ada hakim yang salah, ya kita katakan salah. Tapi karena proses masih berjalan, mari kita hargai dulu,” ujarnya Kamis (25/9/2025).
Namun, pernyataan itu dianggap sekadar basa-basi normatif. Faktanya, hingga kini PN Unaaha tak menunjukkan langkah transparan untuk menepis dugaan adanya praktik mafia peradilan. Sementara isu keterlibatan hakim berinisial YAP terus menguat, seiring mandeknya eksekusi lahan yang sudah inkracht dimenangkan Ainun Indarsih.
Andi membantah PN Unaaha bisa melindungi hakim bermasalah. Tetapi, fakta bahwa putusan sah tidak dieksekusi, justru mempertebal dugaan publik, ada tangan-tangan kotor yang bermain di balik toga hakim.
Kecurigaan itu semakin kuat karena mutasi hakim YAP dilakukan di tengah sorotan kasus. Penjelasan bahwa mutasi adalah hal lumrah dianggap tidak masuk akal. Publik melihat pola klasik, hakim bermasalah dipindahkan, bukan diproses hukum secara tegas.
Sebelumnya, publik dikejutkan pengakuan Erytnanda Akbar, suami Ainun Indarsih, yang membeberkan adanya pertemuan gelap dengan oknum hakim PN Unaaha, YAP. Dalam pertemuan itu, YAP diduga terang-terangan meminta fee Rp2 miliar untuk “mengawal” perkara sekaligus menurunkan tuntutan ganti rugi dari Rp90 miliar menjadi Rp30 miliar.

Bahkan, YAP disebut membawa nama Ketua PN Unaaha, pejabat Pengadilan Tinggi Sultra, hingga Mahkamah Agung untuk meyakinkan bahwa eksekusi akan dibatalkan dan PT OSS akan dimenangkan dengan alasan apa pun.
“Ini bukan sekadar pelanggaran kode etik, tapi dugaan praktik mafia hukum yang menghina rasa keadilan rakyat,” tegas Akbar.
Kuasa hukum Ainun, Andri Darmawan, sudah melaporkan Ketua PN Unaaha, Ketua Majelis Hakim, serta dua hakim anggota ke Komisi Yudisial (KY) RI dengan bukti rekaman, percakapan, dan dokumentasi pertemuan.
“Mediasi di luar pengadilan oleh hakim yang menangani perkara adalah pelanggaran berat. Itu bukan hanya cacat prosedur, tapi pelecehan terhadap prinsip peradilan yang bersih,” ujar Andri.
Saat ini KY RI telah memeriksa empat hakim PN Unaaha. Namun, publik masih menunggu apakah langkah itu berakhir dengan sanksi tegas atau kembali menjadi tontonan klise di mana praktik mafia hukum berlindung di balik toga.
Selama PN Unaaha masih bersembunyi di balik alibi “menghargai proses hukum” tanpa keberanian membuka fakta, tudingan bahwa lembaga ini jadi sarang permainan perkara akan sulit terbantahkan.
Editor Redaksi