KENDARI, rubriksatu.com – Skandal korupsi tambang di Sulawesi Tenggara kian terbuka lebar. Penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Sultra kembali menetapkan dua tersangka baru dalam perkara penyalahgunaan wewenang penerbitan persetujuan sandar dan berlayar kapal pengangkut ore nikel. Kasus ini sudah menyeret sembilan tersangka dengan total kerugian negara mencapai Rp233 miliar.
Dua tersangka terbaru adalah RM, pihak swasta yang menjadi perantara pengurusan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT AM, serta AT, Inspektur Tambang Kementerian ESDM RI yang ditugaskan di Sultra. Penetapan nama AT, pejabat kementerian, mempertegas dugaan adanya mafia tambang yang melibatkan birokrat pusat hingga daerah.
RM ditengarai menjadi tangan kanan MM (tersangka utama dari PT AM) untuk mengurus dokumen RKAB 2023. Dari proses haram itu, RM mengantongi miliaran rupiah yang kemudian disebarkan ke sejumlah pihak, termasuk AT.
AT sendiri, yang semestinya mengawasi aktivitas tambang, justru ikut membuat dokumen fiktif seolah PT AM menambang pada 2022. Padahal kenyataannya nihil. Dokumen rekayasa itu bahkan disahkan oleh Kementerian ESDM RI sehingga PT AM bisa mengantongi kuota RKAB 2023.
Kuota ilegal tersebut lalu dijual MM kepada para trader dengan harga USD 5–6 per ton. Ore nikel yang ditambang diduga berasal dari eks Wilayah IUP PT PCM yang sudah mati, menggunakan jetty PT KMR. Total penjualan mencapai 480 ribu ton ore nikel semua tanpa dasar hukum yang sah.
Audit BPKP mengungkap, negara merugi Rp233 miliar akibat praktik mafia tambang ini. Ironisnya, uang haram miliaran rupiah justru mengalir deras ke pihak-pihak yang seharusnya menjaga aturan.
Kini, sembilan orang sudah resmi jadi tersangka, di antaranya, ES dan HH (PT PCM), MM, MLY, PD (PT AM), RM dan HP (perantara PT AM), AT (Inspektur Tambang Kementerian ESDM), dan SPI (Kepala UPP Kelas III Kolaka).
Para tersangka dijerat pasal berlapis Undang-Undang Tipikor dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara. Namun publik masih meragukan: apakah hukum benar-benar ditegakkan hingga ke akar, atau justru berhenti pada aktor kelas menengah sementara aktor besar tetap bebas berkeliaran.
Kejati Sultra berjanji tidak akan berhenti pada sembilan nama ini. Namun masyarakat mendesak agar penegak hukum berani menembus benteng bekingan politik dan jaringan mafia tambang yang selama ini mempermainkan sumber daya alam demi kepentingan pribadi.
Skandal ini membuktikan bahwa tambang ilegal bukan sekadar persoalan perusahaan nakal, melainkan sindikat yang melibatkan pengusaha, birokrat, dan aparat. Dan selama hukum tidak tuntas, negara akan terus jadi korban sementara rakyat hanya jadi penonton.
Editor Redaksi