Klaim “Good Mining Practice” Dipertanyakan, PT Kembar Emas Sultra dan PT AMM Diduga Tambang Tanpa Izin Lengkap di Konawe Utara

KONAWE, rubriksatu.com – Di tengah gembar-gembor komitmen “pertambangan berkelanjutan” yang digaungkan PT Antareja Mahada Makmur (AMM) dan induk perusahaannya PT Putra Perkasa Abadi (PPA), fakta di lapangan justru menimbulkan tanda tanya besar.

Pasalnya, proyek nikel raksasa milik PT Kembar Emas Sultra (KES) di Kabupaten Konawe Utara yang menunjuk PT AMM sebagai kontraktor utama, diduga kuat belum mengantongi izin lengkap untuk beroperasi.

Kontradiksi antara narasi green mining dan realita di lapangan ini membuat publik bertanya-tanya apakah penghargaan “Good Mining Practice” hanya sebatas pencitraan korporasi, sementara aturan dasar diabaikan.

PT Antareja Mahada Makmur (AMM) sebelumnya diumumkan secara resmi sebagai kontraktor utama untuk menggarap proyek tambang nikel milik PT KES di Konawe Utara. Proyek senilai miliaran rupiah itu diklaim akan berjalan selama lima tahun dengan target produksi 8 juta ton ore per tahun.

Direktur Business Development PPA Group, Muhammad Affan, dalam berbagai pernyataannya menegaskan bahwa proyek ini adalah “bukti kepercayaan dan komitmen pada kaidah pertambangan berkelanjutan.”

Namun, pernyataan manis itu seolah berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan. Sejumlah kalangan di Konawe Utara justru menilai PT KES dan PT AMM terkesan terburu-buru memulai aktivitas tanpa kejelasan izin seperti RKAB, PPKH, dan Amdal.

Ketua Persatuan Pemuda Pemerhati Daerah (P3D) Konawe Utara, Jefri, menegaskan bahwa kegiatan tambang yang dilakukan PT KES harus dipertanyakan legalitasnya.

“PT KES jangan datang lalu langsung menambang. Harus ada sosialisasi kepada masyarakat lingkar tambang. Kami menduga aktivitas mereka belum memiliki RKAB maupun izin PPKH,” tegas Jefri.

Ia juga menyoroti keputusan PT KES menunjuk PT AMM, anak perusahaan dari PPA yang berbasis di Jakarta, sebagai kontraktor tunggal (SPK tunggal) untuk proyek ini.

“Ironis. Perusahaan besar seperti KES seharusnya memprioritaskan kontraktor lokal. Tapi mereka justru memberi kontrak eksklusif ke perusahaan luar daerah. Ini bukan hanya melanggar semangat pemberdayaan lokal, tapi juga mengangkangi keadilan ekonomi bagi masyarakat Konut,” lanjutnya.

Atas temuan itu, P3D Konut melayangkan tiga tuntutan tegas, dengan meminta Polres Konut dan KPHP Konut menghentikan seluruh aktivitas PT KES sebelum izin RKAB diterbitkan secara resmi.

Selanjutnya mereka juga menuntut PT KES melibatkan kontraktor lokal sesuai dengan amanat UU dan prinsip pemberdayaan masyarakat setempat dan mendesak PT AMM/PT PPA menunda seluruh aktivitas tambang sebelum menunjukkan izin PPKH dan Amdal kepada publik.

“Jangan hanya bicara Good Mining Practice di media, sementara di lapangan masyarakat dirugikan. Kami akan terus mengawal kasus ini sampai aktivitas ilegal benar-benar dihentikan,” tutup Jefri.

Klaim keberlanjutan yang digaungkan oleh korporasi besar seperti PPA Group memang terdengar indah, tapi tanpa izin lengkap dan transparansi publik, semua itu hanya sekadar slogan kosong.

Editor Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *