KONAWE, rubriksatu.com – Proyek Rehabilitasi Rumah Jabatan (Rujab) Bupati Konawe senilai Rp3,2 miliar kian memanas. Setelah sebelumnya diselimuti dugaan pengaturan pemenang lelang, kini proyek di bawah kendali Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Konawe itu kembali menuai kritik tajam akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang seharusnya rampung pada 26 Desember 2025.
Proyek yang dibiayai dari uang rakyat tersebut sebelumnya telah disorot Lembaga Pengawasan Pembangunan dan Kebijakan (LPPK) Sulawesi Tenggara, yang menengarai adanya praktik tidak sehat dalam proses tender. CV Kastara Putra Perkasa ditetapkan sebagai pemenang dengan masa kerja 120 hari kalender, terhitung sejak 29 Agustus hingga 26 Desember 2025.
Namun hingga tenggat waktu kontrak berlalu, pekerjaan belum juga tuntas. Pantauan di lapangan menunjukkan progres fisik proyek masih menggantung, tanpa kepastian kapan akan diselesaikan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius soal kualitas perencanaan, pengawasan, dan akuntabilitas pelaksana proyek.
Informasi yang dihimpun media ini menyebutkan, keterlambatan diduga dipicu oleh perubahan sejumlah item pekerjaan dari rencana awal. Dugaan adanya Change Contract Order (CCO) tersebut justru memperkuat kecurigaan publik, mengingat proyek ini sejak awal telah disorot karena persoalan tender.
Ironisnya, pihak PUPR Konawe justru terkesan cuci tangan. Kepala Bidang Cipta Karya PUPR Konawe, Rusdin, mengaku tidak mengetahui secara pasti penyebab molornya proyek bernilai miliaran rupiah tersebut. Ia berdalih baru dilantik pada 22 Desember 2025, sehingga belum menguasai detail pekerjaan.
“Kalau CCO saya tidak tahu persis karena pelantikan saja Kabid tanggal 22 Desember. Yang tahu itu Kabid lama, konfirmasi saja di situ,” ujar Rusdin saat dikonfirmasi, Sabtu (27/12).

Pernyataan tersebut memunculkan ironi baru, proyek strategis bernilai Rp3,2 miliar berjalan tanpa pengawasan pejabat yang memahami detailnya, sementara tenggat kontrak telah terlewati.
Saat didesak terkait kemungkinan adanya perubahan rencana kerja yang berdampak pada keterlambatan, Rusdin kembali memberikan jawaban normatif dan terkesan meremehkan persoalan.
“Saya tidak tahu persis juga. Dalam proyek itu hal biasa kalau terjadi yang begituan,” katanya.
Pernyataan ini justru menimbulkan kritik, karena perubahan pekerjaan dalam proyek pemerintah bukan sekadar hal “biasa”, melainkan harus melalui mekanisme ketat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Terkait sanksi atas keterlambatan, Rusdin memastikan penyedia jasa tidak akan lepas dari konsekuensi. Ia menyebut, keterlambatan otomatis berujung pada adendum kontrak disertai sanksi administratif.
“Pasti berlaku. Kalau sudah lewat kontrak berarti di adendum,” tutupnya.
Namun publik menilai, adendum dan sanksi administratif saja tidak cukup untuk menjawab persoalan tata kelola proyek yang sejak awal telah menuai tanda tanya. Keterlambatan ini menambah daftar panjang proyek bermasalah dan mempertegas pentingnya audit menyeluruh terhadap proses lelang, pelaksanaan, hingga pengawasan proyek Rujab Bupati Konawe.
Editor Redaksi







