KENDARI, rubriksatu.com – Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Sulawesi Tenggara (Sultra) mendesak pemerintah daerah dan DPRD Sultra untuk mempercepat pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSLP).
Regulasi ini dinilai sangat mendesak demi memastikan pengelolaan Corporate Social Responsibility (CSR), terutama di sektor pertambangan, berjalan transparan, terukur, dan tepat sasaran.
Dorongan tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Bidang Hukum dan HAM Kadin Sultra, Supriadi, saat menjadi pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) Raperda TJSLP di salah satu hotel di Kendari, Selasa (18/11/2025).
“Kadin dan saya secara pribadi mendukung penuh langkah pemerintah dan DPRD Sultra membentuk produk hukum terkait Raperda CSR,” kata Supriadi.
Supriadi menilai, selama ini pengaturan dan pengawasan CSR belum berjalan efektif. Pengelolaan CSR hanya mengacu pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, di mana perusahaan mengatur sendiri perencanaan dan pelaporannya tanpa mekanisme kontrol dari pihak luar. Kondisi ini menurutnya membuka celah besar terjadinya manipulasi laporan CSR.
“CSR ini dikelola perusahaan sendiri. Lalu siapa yang mengawasi? Tidak ada. Perda ini akan menjadi instrumen pengawasan sekaligus memastikan transparansi benar-benar berjalan,” tegasnya.
Ia menambahkan, laporan CSR merupakan salah satu dokumen penting dalam proses penerbitan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Namun tanpa pengawasan yang memadai, laporan tersebut rawan disusun hanya sebagai formalitas.
Supriadi juga menyoroti absennya aturan baku mengenai nominal atau persentase dana CSR yang wajib disalurkan perusahaan berdasarkan keuntungan mereka. Menurutnya, investasi yang masuk ke daerah wajib memperhatikan aspek sosial lingkungan serta kesejahteraan masyarakat terdampak.
Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa pengelolaan kekayaan alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Namun kenyataannya, banyak daerah tambang di Sultra justru masih tertinggal dan tidak merasakan manfaat signifikan dari kehadiran investasi.
“Ke depan ketika Perda ini lahir, tata kelola CSR harus terarah. Penyalurannya bukan tunai, tetapi program yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat,” jelasnya.
Supriadi mengusulkan sejumlah hal krusial yang harus masuk dalam Raperda, antara lain, penetapan nominal atau persentase standar dana CSR yang wajib dialokasikan perusahaan, kewajiban mengunggah laporan pertanggungjawaban CSR ke sistem OSS, sebagai bukti transparansi dan pelaksanaan program. Kemudian penerapan sanksi tegas mulai dari teguran, sanksi administrasi, hingga pencabutan izin bagi perusahaan yang tidak patuh.
Ia menegaskan, pemerintah daerah harus berani menolak rekomendasi perpanjangan RKAB apabila perusahaan tidak melampirkan laporan CSR sesuai ketentuan.
“Kalau sudah berulang kali tidak patuh, harus ada opsi pencabutan izin. Untuk apa datang berinvestasi di daerah kita kalau mengelola CSR saja tidak bisa dan tidak ada dampak bagi masyarakat?” tandasnya.
Editor Redaksi







