KONAWE, rubriksatu.com – Sorotan publik terhadap Bupati Konawe, Yusran Akbar, ST, makin tajam. Setelah kebijakan pameran desa miliaran rupiah dan pengadaan mobil mewah Alphard senilai Rp3,4 miliar, kini sang bupati kembali diterpa dugaan pelanggaran hukum serius: rangkap jabatan sebagai komisaris utama di perusahaan tambang nikel.
Data yang diperoleh menunjukkan, Yusran Akbar tercatat sebagai Komisaris Utama PT Unaaha Nikel Persada (UNP) sekaligus pemegang saham 35 persen di perusahaan tersebut.
PT UNP merupakan perusahaan pemegang Izin Pengangkutan dan Penjualan (IPP) mineral logam — izin strategis yang membuka akses langsung terhadap bisnis pengelolaan sumber daya alam di Konawe.
Posisi ganda antara kepala daerah dan komisaris tambang ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang menegaskan bahwa penyelenggara negara dilarang rangkap jabatan pada organisasi usaha karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Lebih jauh, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN serta UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga menegaskan hal serupa — kepala daerah tidak boleh terlibat dalam pengelolaan perusahaan, apalagi sektor tambang yang beririsan langsung dengan kebijakan publik.
Keterlibatan langsung Yusran Akbar dalam bisnis tambang disebut sebagai bentuk nyata penyalahgunaan jabatan dan pelanggaran etika publik.
Sebab, sebagai Bupati, Yusran memiliki kewenangan dalam pengelolaan izin, tata ruang, hingga rekomendasi transportasi mineral, yang bisa dengan mudah bersinggungan dengan kepentingan perusahaannya sendiri.
“Larangan itu sudah jelas untuk menghindari conflict of interest. Tidak elok seorang pejabat publik juga menjadi komisaris di perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam,” tegas LM Bariun, Direktur Pascasarjana Hukum Unsultra, beberapa waktu lalu.
Bariun menambahkan, rangkap jabatan seperti itu bukan hanya cacat secara hukum, tetapi juga melanggar komitmen moral dan fakta integritas yang ditandatangani setiap calon kepala daerah sebelum menjabat.
“Secara moral pun harusnya sadar diri. Fakta integritas itu jelas mengikat kepala daerah agar tidak menggunakan jabatan publik untuk keuntungan pribadi,” ujarnya.
Dugaan rangkap jabatan ini menambah daftar panjang kontradiksi dalam kepemimpinan Yusran Akbar.
Di satu sisi, pemerintahannya menyerukan efisiensi anggaran dan pelayanan publik, namun di sisi lain, sang bupati justru menikmati fasilitas mewah dan terlibat langsung dalam bisnis tambang.
Kritikus lokal menilai, kondisi ini mencerminkan arogansi kekuasaan yang mulai kehilangan rasa malu terhadap aturan dan etika publik.
“Bagaimana rakyat bisa percaya pada pemimpin yang bicara soal kesejahteraan, tapi ikut bermain di bisnis tambang? Ini penghinaan terhadap prinsip pelayanan publik,” ujar salah satu aktivis antikorupsi di Kendari.
Jika benar, tindakan Yusran Akbar bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi berpotensi melanggar pidana etik jabatan dan penyalahgunaan wewenang.
UU Pelayanan Publik dengan tegas menyebutkan, setiap pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi dapat dijatuhi sanksi administratif hingga pidana.
Publik kini menunggu sikap Kemendagri, KASN, dan KPK untuk menindaklanjuti dugaan serius ini.
Sebab, jika dibiarkan, Konawe akan menjadi contoh buruk bagaimana kekuasaan bisa beroperasi tanpa batas hukum dan tanpa rasa malu.
Editor Redaksi







