KENDARI, rubriksatu.com – Dugaan pelanggaran ketenagakerjaan di Swalayan MGM Kendari kini menjadi sorotan serius setelah kasusnya resmi bergulir ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kendari.
Komisi I DPRD menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) perdana pada Senin (27/10/2025), untuk menindaklanjuti laporan sejumlah mantan karyawan yang mengaku digaji di bawah upah minimum dan tidak mendapatkan fasilitas BPJS Ketenagakerjaan.
RDP tersebut dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD Kendari, Zulham Damu, dan dihadiri perwakilan Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Kendari, manajemen Swalayan MGM, DPC Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Kota Kendari, serta dua mantan karyawan yang menjadi korban dugaan pelanggaran.
Salah satu mantan karyawan, Niken, mengungkapkan bahwa dirinya telah bekerja selama 1 tahun 7 bulan di MGM. Selama itu, ia menerima gaji awal Rp1,8 juta dan naik menjadi Rp2,2 juta setelah setahun bekerja — jauh di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Kendari Rp3.314.000.
“Tidak ada BPJS, kalau kita singgung soal itu malah dimarahi. Katanya belum saatnya, padahal saya sudah setahun kerja,” tutur Niken dalam RDP.
Hal serupa diungkapkan Ninda, mantan karyawan lainnya. Ia mengaku dipecat tanpa alasan jelas setelah sebelumnya meminta izin tidak masuk kerja karena urusan keluarga. Anehnya, pihak manajemen justru menyodorkan surat pengunduran diri untuk ditandatangani.
“Saya diminta tanda tangan surat pengunduran diri, padahal saya tidak pernah berniat berhenti. Rasanya seperti dipaksa keluar,” ungkapnya.
Sementara itu, Koordinator Karyawan MGM, Marshalub, membenarkan bahwa memang ada karyawan yang belum didaftarkan BPJS dan menerima gaji di bawah UMK. Namun ia berdalih kondisi itu disebabkan “dinamika keluar-masuk karyawan.”
“Beberapa karyawan masih coba-coba kerja. Jadi biasanya BPJS diberikan setelah setahun bekerja,” ujarnya.
Terkait tudingan pemaksaan tanda tangan surat pengunduran diri, Marshalub membantah.
“Kalau memang tidak setuju, jangan tanda tangan. Itu kan pilihan mereka,” katanya enteng.
Pernyataan ini justru memantik kritik dari Ketua DPC SBSI Kendari, Siswanto, yang menyebut praktik MGM sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, yang ancamannya mencapai 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Selain itu, pembayaran upah di bawah UMK juga jelas melanggar Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, serta SK Gubernur Sultra Nomor 100.3.1.1/488 Tahun 2024 yang menetapkan UMK Kendari sebesar Rp3.314.000.
“Ironisnya, MGM baru mendaftarkan karyawan ke BPJS setelah laporan masuk ke Disnaker dan DPRD. Artinya, mereka baru sadar hukum setelah ditegur,” tegas Siswanto.
Ketua Komisi I DPRD Kendari, Zulham Damu, menegaskan pihaknya akan mendorong penyelesaian awal melalui Disnaker sebagai langkah nonlitigasi, namun membuka opsi proses hukum jika tak ada progres berarti.
“Kalau Disnaker tidak mampu menyelesaikan, kami akan lanjutkan hingga ke aparat penegak hukum. Ada preseden kasus seperti Santaana yang akhirnya masuk ke pengadilan,” tegas politisi PDI Perjuangan tersebut.
Zulham menilai pelanggaran yang dilakukan MGM cukup jelas dan sistematis mulai dari gaji di bawah UMK, ketiadaan kontrak kerja, hingga tidak adanya perlindungan BPJS bagi karyawan.
“Secara prosedural mereka salah. Tapi karena ini menyangkut investasi, kami beri kesempatan pembinaan dulu sebelum langkah hukum diambil,” pungkasnya.
Editor Redaksi







